Akhir minggu. Jalan Gatot subroto di siang hari bolong. Aku melirik jam tangan di pergelangan tanganku. Sudah jam 2 kurang 2 menit. Matahari sedang panas2nya. Cuaca sama sekali tidak memberiku belas kasihan. Aku berdiri di sana, memperhatikan setiap kendaraan yang berlalu lalang. Tidak sepadat hari-hari biasa. Mungkin karena libur panjang, orang2 lebih memilih memadati daerah puncak atau bandung dan membiarkan Jakarta merasakan sedikit kelengangan. Beristirahat.
Kemeja hitam, jeans biru navy, converse biru, dan backpack hitam bergambar tengkorak yang menemaniku menikmati debu, asap knalpot dan matahari. Ah, ya! Juga Mp3 player pinjaman yang dari tadi hanya tersimpan di saku sebelah kiri celana jeansku. Tidak sempat kugunakan karena telingaku terlalu sibuk mendengar celotehan klien yang punya keinginan banyak tanpa mau membayar harga tinggi. Setan! Dan memangnya kenapa kalau aku menemui klien hanya mengenakan celana jeans dan sepatu converse? Sudah bagus aku tidak memakai t-shirt misfits dengan gambar tengkoraknya yang sebesar dosa dan sandal swallow! Setan!
Menyalakan mp3 playerku. Memasang earphonenya di telingaku. Menikmati intro yang menghentak. Hey!Sepertinya lagu ini lumayan. Bukan lagu yang biasa kudengarkan (karena tadi pagi aku tak sempat mengganti playlist begitu aku meminjamnya).
Kutuliskan kesedihan
Semua tak bisa kau ungkapkan
Dan kita kan bicara, dengar hatiku
Buang semua puisi
Antara kita berdua
Kau bunuh dia
Sesuatu yang kusebut itu cinta
Shit! Lagu apa ini? Mulai mencari daftar lagu lain di mp3 player sialan ini. Belum sempat menggantinya, metromini yang akan kutumpangi sudah terlihat. Aku harus segera naik. Menghindarkan ubun2ku dari sengatan sinar matahari yang jahat lebih lama.
Menyetop metromini, melongokkan leher mencari tempat duduk. Ah, kosong. Aku memilih untuk duduk di dekat jendela, bangku ke dua dari pintu depan sebelah kiri. Lagu ini masih terdengar.
Kutuliskan kesedihan
Semua tak bisa kau ungkapkan
Dan kita kan bicara
Dengar jiwaku
Buang semua puisi
Antara kita berdua
Kau bunuh dia
Sesuatu yang kusebut itu cinta
Aku memandang ke luar jendela. Gedung demi gedung berlalu. Motor2 dengan kecepatan yang tak dapat dipercaya mencoba membalap metromini yang sopirnya mungkin punya 16 nyawa cadangan. Teriakan2 kenek tidak lagi terdengar. Aku tenggelam dalam lagu ini. Mendengarnya, tak mau berhenti. Semakin dalam dan dalam.
Yakinkan Aku, Tuhan
Dia bukan milikku
Biarkan waktu, waktu...
Hapus aku
Sadarkan aku, Tuhan
Dia bukan milikku
Biarkan waktu, waktu...
Hapus aku
Angin dari jendela menerbangkan rambut panjangku. Tapi aku tak pernah takut tatanan rambutku jadi kacau. Apa yang bisa mengacaukannya? Rambutku adalah jenis rambut panjang yang lurus membosankan. Aku justru menikmati semilir angin itu menerpa wajahku. Sejuk. Walaupun aku tahu bahwa udara terasa semakin gerah dan pengap di dalam metromini ini. Mungkin lagu ini. Bukan angin. Lagu ini yang membuatku merasa sedikit lebih sejuk. Lagu ini dan gedung demi gedung yang bergerak dengan cepat.
Yakinkan aku, Tuhan
Dia bukan milikku
Biarkan waktu, waktu...
Hapus aku
Sadarkan aku, Tuhan
Dia bukan milikku
Biarkan waktu, waktu...
Hapus aku
Ah, lagu ini mengingatkanku pada suatu cerita. Cerita apa? Aku mencoba mengingatnya. Cerita apa? Cerita apa? Cerita apa?
Entahlah... Ini seperti De Javu.
No comments:
Post a Comment