Wednesday, June 27, 2007

"Shit! Shit! Shit!" umpatku berbisik. Pada siapa? Entahlah. Pada diriku sendiri.
Aku bukanlah orang yang suka mengumpat. Tapi umpatan itu kali ini layak kulontarkan. Aku meletakkan pisau di atas pantry, lalu memijat ujung jari telunjukku yang terpotong hingga semakin banyak darah yang keluar. Kemudian tergopoh-gopoh aku menuju ke tempat cuci piring dan mendiamkan jariku di bawah aliran air keran. Mencoba membersihkan lukanya. Setidaknya air keran lebih bersih daripada sekedar memasukkannya ke mulut. Beberapa orang bilang, ludah kita mengandung obat alami yang bisa menyembuhkan luka. Bullshit! Entah kuman apa saja yang terkandung dari ludah kita. Yeah, ok, entah kuman apa saja yang juga terkandung di air keran bak cuci piring. Tapi setidaknya dengan meletakkannya di bawah pancuran air dingin, jariku terasa lebih enak. Dan aku tak perlu merasakan asinnya darah saat aku mengulum dan menghisap-isap lukaku.

Sudah dari tadi siang aku sedikit uring-uringan. Padahal ini masih jauh dari waktu PMS-ku. Kurasa moodku memang bisa berubah dengan mudahnya kalau sudah menyangkut dirinya. Rasanya seperti aku tak lagi punya kekuatan untuk mengontrol emosiku sendiri.

Pukul sebelas siang tadi.

To: Lil Bliss
(0818 xx xxxx)
Ntar mo makan siang brg?
From: 0818 xxxx xxxx

To: 0818 xxxx xxxx
Liat ntar
From: Lil Bliss
(0818 xx xxxx)


Selalu jawaban yang sama. Jawaban yang tidak menjawab apapun. Jawaban menggantung tanpa kepastian. Dan aku selalu menelan jawaban-jawaban itu bulat-bulat. Yah, aku adalah perempuan yang sedang jatuh cinta. Apa yang bisa diharapkan dari seorang perempuan yang sedang jatuh cinta? Mengharap dari sesuatu yang tak pasti. Itulah yang jadi keahlian dari perempuan yang sedang jatuh cinta.

Pukul dua belas siang tepat.

To: Lil Bliss
(0818 xx xxxx)
Gimana?
From: 0818 xxxx xxxx


Semenit.
Dua menit.
Sepuluh menit.
Masih juga belum ada jawaban. Ah, mungkin memang dia masih sibuk. Kadang suka sampai lupa segalanya kalau sudah mengerjakan apapun yang sedang dikerjakannya. Mungkin aku harus menunggu.

12:45.

To: Lil Bliss
(0818 xx xxxx)
Hello…? Anybody home?
From: 0818 xxxx xxxx


Aku menunggu dan terus menunggu. Perutku mulai protes. Aku memang tidak sarapan apapun pagi ini. Dari pagi setumpuk dokumen sudah menunggu untuk kukerjakan. Mulai berpikir untuk makan saja duluan dan meninggalkan yang menggantung dengan gantungannya sendiri. Maksudku, tidak salah kan kalau aku makan duluan. Toh aku sudah berusaha mengabarinya. Ah, benar-benar ciri khas Igor. Sial.
Mungkin lebih baik aku menelponnya.

Calling….
Lil Bliss


Nada sambung.
Sekali.
Dua kali.
Berkali-kali.
Tidak diangkat! Ok, mungkin memang dia sibuk. Atau…? Ah, jangan berpikiran yang macam-macam. Ini tengah hari bolong. Tidak mungkin Igor bertemu dengannya siang hari begini. Maksudku, aku dan perempuan itu berkantor di gedung yang sama. Masa Igor setega itu? Bagaimana kalau aku melihatnya? Mungkin dia memang sedang sibuk.

Kucoba menelpon lagi.

Calling…
Lil Bliss


Masih nada sambung.
Dan masih tidak diangkat.
Sial! Rasa dingin merayapi tubuhku. Rasa dingin yang sama setiap kali aku merasa ada yang tidak beres. Rasa dingin yang sama setiap kali dia tidak menerima telponku, atau membalas smsku. Rasa dingin yang sama seperti yang selalu kurasakan saat Igor sedang bersamanya.

Dan aku mengurungkan niatku untuk makan siang. Karena kakiku langsung membawaku ke toilet wanita. Masuk ke salah satu biliknya, dan muntah.

Masih mengumpat-umpat kecil aku berjalan cepat ke kamar mandi. Membuka lemari obat-obatan, mencari kapas dan betadine. Dengan sedikit kasar kuobrak-abrik seluruh isi lemari. Menemukan kapas di ujung dalam lemari. Tapi dimana betadin sialan itu? Seingatku masih ada botolnya walaupun tinggal sedikit. Setelah beberapa tablet obat dan beberapa botol minyak gosok terlempar keluar, akhirnya aku menyerah dan berhenti mencari betadine. Akhirnya aku hanya menyambar selembar band-aid dengan asal-asalan. Menarik keluar botol antiseptik, mencocolnya dengan kapas, membersihkan lukaku dan kemudian menempelkan band-aid di seputar ujung jari telunjukku yang terpotong.

Pukul tujuh malam, aku melirik ke jam dinding tepat di atas tv kecilku yang selalu jadi bahan ejekkannya. "Tv lo tuh canggih, tauk. Bisa memberi efek goyang yang sangat real. Bagus untuk film-film seperti 'The Perfect Storm', atau film 'Earth quake'" celanya sambil tertawa puas. "Serasa nonton di bioskop Three D", lanjutnya lagi. Biasanya aku hanya mencubit pinggangnya, atau menekan pahanya hingga ia kegelian. Oh ya, kelemahannya ada di kaki. Pencet sedikit, dan dia akan menyerah.

Pukul tujuh lewat lima belas menit. Kemana dia? Kenapa belum datang? Atau paling tidak menelpon, untuk memberi kabar apakah ia jadi datang atau tidak. Aku berencana memasakkannya,… sesuatu. Yah, ok, aku memang sedang memasakkan Macaroni Panggang. Dan aku sedang mengiris buncis ketika jariku terpotong. Salahku sendiri. Menggunakan benda tajam dengan pikiran yang melayang kemana-mana, seperti, kemana Igor pergi tadi siang, tanpa membalas sms dan tanpa mengangkat telponku. Hanya sebaris sms yang akhirnya datang padaku, beberapa jam kemudian.

To: 0818 xxxx xxxx
Sorry, ada prlu ma temen. Ga bs angkat tlp.
From: Lil Bliss
(0818 xx xxxx)


Mengesalkan. Memangnya aku punya waktu yang begitu banyak hingga bisa menunggu kabar darinya untuk konfirmasi makan siang bersama kami sampai jam 3 siang—waktu aku menerima smsnya itu—. Tapi, ya, aku memang selalu punya begitu banyak waktu yang akan dengan senang hati kuhambur-hamburkan untuk menunggunya. Sebagian orang akan bilang bahwa aku dungu. Tapi menurutku, aku hanya jatuh cinta. Dan—sekali lagi—apa yang bisa diharapkan dari seorang wanita yang sedang jatuh cinta?

Igor pasti sedang bersamanya. Hanya saat dengan perempuan itu dia tidak mau mengangkat telponku. Bahkan tidak menyempatkan membalas smsku. Tapi entahlah. Dia memang jarang mau membalas smsku. "Lebih murah telpon, kalo ke elo mah," begitu selalu alasannya. Tapi tetap saja dia tidak pernah menelponku kembali ketika aku mengirimkan sms padanya. Mungkin dia memang…. Entahlah… seperti yang selalu dikatakannya padaku…

Setelah akhirnya selesai memotong buncis, aku mulai menyiapkan semua bahan untuk membuat Macaroni Panggang. Mencampur dan mengaduknya. Menambahkan bumbu yang perlu ditambahkan. Mencicipi, menambahkan lagi bumbu, dan akhirnya siap memasukkan adonan itu ke dalam oven. Jam sudah menunjukkan pukul 8:20 malam. Kemana lelaki keparat itu?

Calling…
Lil Bliss


Berdering dan berdering.
Tidak diangkat.
Kucoba lagi. He better take it this time.

Calling…
Lil Bliss


Masih tidak diangkat.

To: Lil Bliss
(0818 xx xxxx)
Gmn? Ke sini ga sih?
From: 0818 xxxx xxxx


Aku menyalakan oven, mengatur suhunya, menunggu balasan sms.
Sepuluh menit berlalu, dan handphoneku masih belom berbunyi.
Aku membersihkan dapur, merapikan meja makan kecil yang terletak di sudut dekat jendela.

Mengambil air dingin dari kulkas, menuangkannya ke dalam gelas, kemudian meminumnya, padahal aku sama sekali tidak haus.
Handphoneku masih belum berbunyi.
Arrgghhh….

Calling…
Lil Bliss


Tuuut….
Tuuut…
Masih tidak diangkat.
Aku mengambil sebatang rokok dari bungkusnya. Menyalakannya, menghirup asapnya dalam-dalam. Berjalan ke arah jendela, membuka kacanya, memberi jalan agar udara dapat berganti.

Calling…
Lil Bliss


Aku sudah tahu bahwa ini akan tetap tidak di angkat.
Aku menyerah.
Untuk saat ini.
Memang dia tidak menjanjikan akan datang hari ini. Aku hanya berharap. Entahlah. Setidaknya aku merasa berhak mendapat konfirmasi, apakah ia akan datang atau tidak. Setidaknya aku tidak perlu menghabiskan waktu dengan mengkhawatirkan apakah ia akan datang atau tidak. Apakah dia baik-baik saja, atau mobil tuanya sedang membuat masalah lagi. Tidak perlu mengkhawatirkannya sedang terkapar di suatu tempat dengan kaki patah atau kepala retak.

Pukul lima, tadi sore. Mendekati waktu pulang kantor. Memang biasanya aku tidak pernah pulang kurang dari jam tujuh malam. Tapi lebih baik sejak awal aku menanyakannya. Daripada keduluan orang lain.

To: Lil Bliss
(0818 xx xxxx)
Mau pulang bareng?
From: (0818 xxxx xxxx)


To: 0818 xxxx xxxx
Liat ntar. Gak tau kerjaan kelar jam brapa.
From: Lil Bliss
(0818 xx xxxx)


Jawaban yang sama. Selalu jawaban yang sama. Ok, kalau memang tidak tahu akan pulang jam berapa, mungkin aku bisa pulang duluan, dan dia menyusul. "Kompromi, Abby! Kompromi!" aku mengingatkan diriku sendiri.

To: Lil Bliss
(0818 xx xxxx)
Ya dah, kalo ga bisa bareng, ntar nyusul aja ke aptm gimana?
From: 0818 xxxx xxxx

To: 0818 xxxx xxxx
Ga tau. Ntar dikbarin deh.
From: Lil Bliss
(0818 xx xxxx)


Kata-kata yang berbeda, tapi jelas maksudnya sama saja. Gantung. Tipikal Igor. Tidak pernah bisa menjanjikan apapun. Mungkin dengan tidak menjanjikan apa-apa, dia bisa dengan mudahnya mengabaikannya. Atau dia hanya tidak mau berusaha untuk menepati janji? Entahlah.

Ah, aku lupa kalau entah seberapa awalpun aku menanyakan ini padanya, aku akan selalu mendapat jawaban yang sama. Entah seberapa awalpun aku menanyakan ini padanya, aku tidak pernah menjadi nomer satu. Tidak pernah jadi prioritas untuknya. Dan aku menerimanya. Berkompromi dengan egoku. Berkompromi dengan harga diri. Menerima semua ini, tanpa syarat!

Tiing…
Bunyi Ovenku. Macaroniku sudah siap santap. Aku mengeluarkannya dari oven, meletakkannya di atas pantry, mengibas-kibaskan asapnya, menghirup wanginya. Hmmm… Dia pasti akan ketagihan. Yah, kalau dia datang. Pasti dia datang. Tidak mungkin ia mengecewakan aku dua kali dalam sehari kan? Atau, mungkinkah?

Aku mulai memotong-motong Macaroni Panggang. Mengatur piring, garpu, gelas dan semua peralatan makan. Memang bukan pengaturan sempurna seperti di film-film. Apalagi dengan tambahan dua lilin panjang berwarna merah. Bahkan piring makanku tidak ada yang match satu sama lain. Aku hanya ingin agar meja makan ini terlihat lebih rapi. Lebih apik. Mungkin akan menambah selera makan. Aku sendiri tidak tahu apakah akan ada pengaruhnya. Aku selalu makan sambil duduk di loveseat depan TV, sambil menaikkan kaki. Memang bukan golongan priyayi.

Jam sepuluh malam. Sepertinya kerjaanku dari tadi hanya bolak-balik melihat ke arah jam dinding. Masih belum ada kabar dari Igor.

Calling…
Lil Bliss


Masih belum diangkat. Rasa dingin yang sudah sangat kukenal itu mulai merayap naik dari setiap ujung jariku. Sial! Kemana sih Mahluk Keparat ini?
Kucoba sekali lagi.

Calling…
Lil Bliss


Kenapa aku masih mencoba padahal aku sudah tahu pasti, sesering apapun aku mencobanya, tidak akan diangkat. Entah apa yang ada di pikirannya. Di manapun dia, aku yakin ia sama sekali tidak perduli bahwa aku berjam-jam menunggunya. Berjam-jam merasa was-was. Tidak bisa berhenti khawatir. Dia sama sekali tidak perduli. Itu pasti! Bahkan mungkin saat ini dia sedang bersenang-senang melakukan apapun yang sedang dilakukannya, yang membuatnya senang itu. Dan kalau sudah begitu, apakah ia akan ingat padaku? Tentu tidak, Nona. Tentu tidak.

To: Lil Bliss
(0818 xx xxxx)
Katanya mo ngabarin? Mana? Nggak jelas gini sih? Capey deyh…
From: 0818 xxxx xxxx


Bahkan SMS pun tidak akan dibalasnya. Aku tahu pasti itu. Tapi itupun tidak bisa membuatku berhenti terus menerus mengecek handphoneku. "Ah, come on, Abby, udah pernah denger yang namanya ringer handphone belom? Itu lho, bunyi yang menandakan ada telpon ataupun pesan yang masuk. Tunggu aja handphonenya bunyi, dan lo akan tau kalau ada sms masuk. Nggak usah dilongokin setiap dua menit sekali", dalam hati aku mengutuki diriku sendiri.

Aku mencoba mengalihkan perhatianku dengan menonton TV. Memindah-mindahkan channel tanpa benar-benar menonton acara yang sedang ditayangkan. Pikiranku melayang, entah kemana. Mungkin ke… radius 3 kilometer? Entahlah. Aku bahkan tak tahu dimana perempuan itu tinggal.

Tiba-tiba aku jadi bergidik sendiri. Pikiran itu, seakan-akan memastikan bahwa Igor pasti sedang bersamanya. Melakukan apapun yang bisa membuatnya sama sekali tidak perduli pada perasaanku. Ah, tapi sejak kapan Igor pernah benar-benar perduli pada apa yang kurasakan?

Tidak ada acara yang cukup bagus yang bisa mengalihkan perhatianku. Jadi aku membongkar tumpukan koleksi DVD-ku. Mencari film yang bisa kutonton. Hmm… Hmmm… Hmm… Ini dia! High Fidelity. Film paling keren sepanjang masa, setelah Capote, Pulp Fiction, Scarface, Almost Famous, Before Sunrise… Yah, ok. Mungkin bukan terkeren sepanjang masa. Tapi cukup keren menurutku. Tentang seorang pemilik record store, Rob Gordon, yang ngomong-ngomong dimainkan oleh John Cusack. Oh, sungguh yummie. Setelah putus dari pacarnya, Laura, membuatnya kembali menengok ke belakang. Ke hubungan-hubungannya yang gagal sebelumnya. Lelah merasa terus menerus jadi pecundang, Rob mencari tahu mengapa semua perempuan di dalam hidupnya akhirnya pergi meninggalkannya. Jawaban yang ditemukan ternyata sangat mengecewakannya. Setelah menghabiskan waktu dan tenaga terus menerus menyalahkan para wanita itu, ternyata akhirnya dia menyadari bahwa karena kesalahannya sendirilah akhirnya para wanita itu meninggalkannya. Karena keegoisannya sendirilah akhirnya ia selalu ditinggalkan oleh wanita-wanita yang tadinya mencintainya. Ditinggalkan sendiri, kesakitan dan menyesal. Astaga! Betapa menyedihkan hidupnya. Yeah, ok… hidupku juga menyedihkan.

Lagi-lagi aku melirik ke arah jam. 23:30.

Calling…
Lil Bliss


Masih tidak diangkat. Aku menekan tombol merah, untuk kemudian kembali menekan tombol hijau.

Calling…
Lil Bliss


Heum…. Ok, sekali lagi.

Calling…
Lil Bliss


Sepertinya aku mulai obsesif. Rasa dingin itu menyergap semakin dasyat. Jantungku berdegup kencang. Seperti berdentum rasanya. Seluruh telapak tanganku seperti membeku. Begitu dingin. Kuku-kukuku mulai terlihat membiru. Ada energi yang meluap-luap. Aku harus menyalurkan energi ini. Atau aku akan mati karenanya. Itupun kalau aku cukup beruntung bisa mati tanpa menderita.

Aku tahu dia tak akan datang.

Maka aku mulai membereskan meja makan. Memasukkan kembali piring-piring, gelas-gelas, garpu-garpu ke dalam raknya. Membuang Macaroni Panggang yang bahkan sama sekali belum disentuh itu. Aku tidak lagi bernapsu makan. Hilang semua rasa lapar. Sedikit aneh, mengingat tidak ada yang memasuki perutku seharian ini kecuali beberapa potong keripik kentang yang kucomot dari toples teman kantorku.

Aku tidak tahu apakah aku berhak marah? Apakah aku harus menahan semua perasaan yang mengganggu ini? Mungkin memang seharusnya kutahan. Karena toh aku bukan siapa-siapa. Tidak punya hak atas apapun. Tapi apakah aku tidak punya hak untuk diperlakukan lebih baik? Apakah aku meminta terlalu banyak? Aku hanya meminta ia memberi kabar, bahkan kalaupun ia tak bisa datang. Aku toh akan coba mengerti. Tapi sama sekali tidak memberi kabar seperti ini? Aku memang bukan siapa-siapa. Tapi aku tetaplah manusia. Yang punya perasaan.

Ah, sudahlah… Aku lelah.

Aku kembali menyulut rokokku, dan duduk di dekat jendela, setelah mematikan TV dan semua lampu. Memandang lampu-lampu di kejauhan. Menghisap dan menghembukan asap dengan berirama. Pelan. Merenungi mengapa… mengapa aku tetap bertahan. Bertanya, obesesi apakah ini. Aku, dengan egoku yang besar, mau diperlakukan seperti ini? Membuang semua harga diri yang aku punya hanya untuk diinjak-injak.

Menghisap, menghembuskan. Menghisap, menghembuskan. Hingga akhirnya rokokku tinggal puntung. Aku mematikannya, menekannya ke asbak di atas meja kopi di depan TV. Lalu berjalan ke kamar mandi, mencuci mukaku, mencari botol obat tidurku. Mengeluarkan dua butir pil berwarna merah muda itu, lalu menelannya.

Setelah meminum segelas air, aku mulai merebahkan tubuhku di atas kasur. Semakin lama, kantuk semakin menyergapku. Aku mulai terhanyut ke alam trans. Antara tidur dan… entahlah. Mati? Dan mimpi itu datang. Mimpi yang sama seperti yang kudapat malam sebelumnya. Dan malam sebelumnya lagi. Dan sebelumnya lagi. Terus berulang-ulang. Igor, dengan perempuan itu. Mereka bercinta.

Maka aku tersentak kaget dan terbangun. Tidak ada peluh. Hanya ada nyeri di dadaku, dan air yang mengalir dari kedua mataku. Mereka sedang bercinta.

Dan aku terlupakan.

Karena aku memang tak pernah ada dalam hatinya. Hati Igor. Tidak pernah ada…
Aku harus memastikan.

Calling…
Lil Bliss


Bahkan sampai kotak suara yang menyahutpun telponku tak di angkatnya. Aku mendongak, menyipitkan mata, berusaha melihat ke arah jam dinding kamarku, di atas meja komputer.

Jam 1:25 menit. Sudah jam segini? Dan telponku masih belum diangkatnya?

Calling…
Lil Bliss


Tetap tak diangkat.
Baiklah. Aku mengerti.
Aku mengerti…
Mungkin mimpiku bukan sekedar mimpi.
Tapi firasat…

To: Lil Bliss
(0818 xx xxxx)
Oh, ok.
From: 0818 xxxx xxxx


Besok ia akan memperlakukanku dengan sangat baik,
karena… entahlah… rasa bersalah mungkin?
Tapi percayalah, kejadian ini akan terulang lagi
Dan terus terulang…

Monday, June 04, 2007

Baru beberapa hari lalu, "Kamu terlihat berbeda, Eve. Kamu tidak biasanya seperti ini. Ada yang berubah. Sesuatu berubah. Dan itu membuatmu jadi terlihat lebih buruk. What's wrong, Eve?"

Kalimat itu terucap dari mulut seorang teman yang hampir setahun tidak bertemu. Dan dia sudah menjadi orang ke lima, atau ke enam yang bicara seperti itu pada saya. Apakah saya seberubah itu?

"Come on! Look at your face! Look at your eyes!! Look at your smile!! You are definitely a dead man--ups, woman--walking!!" Serunya lagi sambil menunjuk ke display kamera digital miliknya setelah beberapa kali kami mengambil foto bersama, ketika aku memprotes penilaiannya itu. Yeah well, people change. Everything change.

Memangnya ini salah saya kalo beberapa waktu terakhir ini, ada pertanyaan2 yang menggelayut di otak saya? Potongan2 kejadian yang tak pernah saya lihat, tapi selalu menghantui? Imajinasi2 yang menyakitkan? Keinginan2 tak tertahan untuk melepaskan diri dari rasa sakit?

Shut!! I can't get this song out of my head!!

What's she like when she turns around to kiss you goodnight?
When she wakes up in the morning by your side?
What's she like?

What's she like?
The yellow moon or the deep blue of the sea?
Do you feel the same way you did when it was me?
What's she like?

Oh I've been holding on
I've been holding on for far too long
I've been holding on
I've been holding on much too long.

What's she like when you're making love and stars are in her eyes?
When you're looking for the answers in her smile?
What's she like?

Oh I've been holding on
I've been holding on for far too long
I've been holding on
I've been holding on much too long
Too long.

I never knew I could love somebody the way I loved you
I never thought I'd be the broken-hearted
Well, nothing hurts you like the truth.

So what's she like when she turns to you, when push comes to shove?
When she whispers in your ear that she's in love?
What's she like?

Oh I've been holding on
I've been holding on for far too long
I've been holding on
I've been holding on much too long
So what's she like?

Sunday, June 03, 2007

Silence builds an awful wreckage of a girl
It feeds on loneliness and creates a void
Gray shadows haunt and torment and torture
A teenager is stricken and destroyed

There is no sound of laughter or happiness here
The little one has thrown in the towel today
Somber, melancholy moods decay the soul
It is futile to hope and dream and pray

Emptiness builds a home in this woman
In this girl, this child where hollows have bred
A deepening sea of nowhereness consumes
And eats away at every connecting thread

Confusion feeds like a savage inside her,
Leaving nothing considered worthy remains
Destined to walk through life less ordinary
Alone, exiled, different and disdained.