Wednesday, December 12, 2007

Ah... *exhale*

Seandainya aku lebih cantik...
Seandainya aku lebih putih...
Seandainya aku lebih langsing...
Seandainya tungkaiku lebih panjang...
Seandainya aku lebih sexy...
Seandainya rambut panjangku berwarna hitam tergerai indah...
Seandainya mataku lebih bersinar...
Seandainya pipiku tak setembem ini...

Mungkin hidup akan jauh lebih mudah.

Seandainya aku lebih lemah...
Pasti akan banyak pahlawan-pahlawan yang ingin menyelamatkanku.

Seandainya aku lebih dependen...
Mungkin aku akan jadi lebih menggemaskan.

Seandainya aku tidak sesinis ini dan lebih manis...
Mungkin akan ada orang yang mencintaiku.

Seandainya aku sangat pintar...
Mungkin akan ada orang yang mengingatku.

Seandainya aku sedikit lebih tolol...
Mungkin akan ada orang yang rela menyelamatkanku dari ketololanku sendiri.

Seandainya aku tidak setegar ini...
Mungkin tak akan ada orang yang merasa terintimidasi.

Seandainya aku punya sayap...
Aku akan terbang ke mars dan tak akan kembali.
Biarkan aku sendiri! Biarkan aku sendiri!
Lepaskan aku...
Biarkan aku pergi...
Aku tak mau berada di sini.
Aku tak mampu...

Aku...
Kesakitan.

Monday, December 10, 2007

"You're damn right. Kissing is not easy!" sebuah offline message muncul di chat window saya pagi ini. Seorang teman, kk, dan mantan partner incest, panggil saja Bubba. "Its easier to fuck than kiss" lanjutnya lagi.

Entah dengan kalian semua, tapi untuk saya, mencium seseorang memang jauh lebih sulit daripada hanya sekedar menidurinya. Menurut saya, ciuman itu adalah sesuatu yang lebih intim, lebih emosional, ada perasaan yang terlibat di dalamnya, dan bukan hanya sekedar nafsu. Beban mental untuk mencium seseorang. Ada ketakutan ditolak di situ. Seks? Saya tidak pernah takut ditolak. Tinggal pelorotkan celana, beri sedikit tehnik blow job, dan siapa yang mampu menolak? Tapi ciuman, selalu ada pikiran "gimana kalau dia nggak bales? Gimana kalo balesannya dingin2 aja? Gimana kalo dia tiba2 muntah?!" Teror, teror , teror. Teror yang cukup untuk mendatangkan team SWAT ke Kutub Utara.

Menurut saya, haruslah ada moment yang pas untuk mencium seseorang yang punya potensi sangat besar untuk menolak ciumanmu itu. "What?! You need a moment to kiss him, eve?!" tanya Bubba, tengil. Tentu saja sebelum dia meninggalkan offline msg itu pada saya. Hanya Tuhan yang tahu mengapa tiba-tiba ia merubah pikirannya. Dan saya, dengan jari gemetar, hanya bisa menjawab, "Yes, Bubba! A perfect moment and alcohol. Tons and Tons of alcohol!"

Tapi ternyata, setelah di doping oleh beberapa puluh persen campuran alkohol di Blowfish weekend minggu lalu, Saya tetap tidak memiliki keberanian yang cukup untuk menciumnya. Saya bisa mencium keningnya, pipinya, matanya lalu ujung hidung bangirnya. Tapi hanya sampai di situ! Tidak berani melanjutkan lebih ke bawah. DAMN YOU STUPID BITCH! Tapi saya akan terlihat lebih tolol bila nekat menciumnya, yang kemudian di balas dengan telengan kepala pura-pura tidak menangkap maksud saya. Bunuh diri ditempat saja, Jendral! Baiklah... kembali ke Blowfish. Setelah mencekoki diri sendiri dengan alkohol, mulai menunggu moment yang tepat. Tapi bahkan setelah kami sama2 di ranjang, dia memeluk saya, membawa wajah saya begitu dekat dengan wajahnya, saya tetap tidak berani melakukannya! Kemana alkohol itu?! Akal sehat saya tetap tak terkalahkan oleh 40% gandum hangat! SETAN! Kembalikan 400 ribu saya!

Pada akhirnya saya menyerah. Saya sudah terlalu banyak mengalami penolakan. Satu lagi penolakan, maka saya akan meleleh seperti jelly di cuaca 100 derajat celcius. Seperti kain basah. Sekali lagi penolakan maka, BUNUH DIRI DITEMPAT SAJA, JENDRAL!

Not even a kiss goodbye?
God... patheticism...