Friday, September 29, 2006

H I A T U S ! ! !
Aku merasa seperti tenggelam dalam sebuah euforia. Ini seperti habis menghisap berlinting-linting ganja. Seperti percikan-percikan post-coital. Kegembiraan yang mencurigakan. Kebahagiaan yang membuatmu waspada. Kesenangan semu yang menipu. Aku tak bisa menikmatinya.

Ada suara yang terus berbisik di telingaku, "live, and let it die! Live, and let it die!" Terus dan terus, berulang-ulang. Apa yang harus kubiarkan mati? Mengapa harus kubiarkan mati? Mengapa aku harus tetap hidup? Mengapa aku terus hidup sementara apapun itu harus mati?

Aku merasa jadi seorang penderita schizophrenia. Schizophrenia yang klaustrofobi, karena ruangan ini mendadak seperti menyempit. Aku sesak nafas. Mengapa harus mati? Ini tolol! Aku tak mau! Tapi aku harus!

Setan!!!

Menurut statistik, bunuh diri paling banyak terjadi di antara jam happy hour. Benarkah? Aku melirik jam di pergelangan tangan kananku. Jam delapan lewat sepuluh menit. Waktu yang tepat.

Jadi aku membiarkannya mati...
Biar saja apapun itu mati.
Agar aku hidup!
Karena aku ingin hidup normal...



Benar saja. Sore ini, beberapa menit yang lalu, sebuah tamparan telak kuterima.
BANGSAT!!!
Maafkan aku memaki...
Tapi jari-jariku bergrerak sendiri. Gemetar tak mau berhetnti, kesulitan menulsikan apapun.

AKU PULANG!

Thursday, September 28, 2006

Aku duduk di pembatas Jalan Dago. Tengah malam. Tangan kananku menjepit rokok yang baru saja kubakar. Entah batang keberapa. Tangan kiriku mencekik leher botol Chivas yang dibungkus dengan plastik berwarna hitam. Di depanku, papan nama Jl. Dayang Sumbi. Tidak banyak mobil yang lewat. Kalaupun ada, mereka hanya sedikit melambat, melihat dengan cara paling aneh ke arahku, kemudian kembali melesat menuju lampu merah simpang dago.

Lagu apa yang sedang menemaniku? Lagu apa yang sedang kudengarkan? Tidak ada. Tidak ada lagu. Lagu apapun membuatku merasakan semuanya seratus kali lebih parah. Terlalu sakit, terlalu sedih. Aku takut mendengarkan lagu. Jadi kutinggalkan Mp3 player pinjamanku di kamar hotel.

Jadi di sinilah aku. Duduk di tengah jalan Dago, berharap udara bandung cukup dingin untuk dapat membekukan apapun yang kurasakan. Tapi bahkan angin Bandung pun mengecewakanku.

Apa yang kupikirkan? Tidak ada yang kupikirkan. Terlalu banyak aliran alkohol di dalam darahku. Mengapa aku tidak mabuk? Ini terlalu aneh. Sepertinya semua inderaku jadi seratus kali lebih kebal. Kesadaranku tak mau menghilang. Aku menghembuskan asap rokok. Tercium bau Chivas di asap itu. Aku pasti terlihat seperti Kuntilanak mabuk. Walaupun aku tidak mabuk.

Tiba-tiba seorang lelaki menghempaskan pantatnya di sebelahku. Aku bahkan tak menoleh. Aku hanya melirik. Terlihat figurnya sekilas. Tinggi, mungkin. Dengan kulit putih, mungkin. Rambut gimbalnya yang panjang, diikat menjadi satu ke belakang, mungkin. Lelaki itu tak mengeluarkan sepatah katapun. Hanya duduk. Bahu kirinya berjarak hanya tiga senti dari bahu kananku. Aku kembali memandang ke arah papan nama Jl. Dayang Sumbi. Meneguk Chivasku dan membiarkan rokokku terbakar. Tiba-tiba tangan kiri lelaki itu terulur, meraih rokok yang sedang kujepit dengan jari telunjuk dan tengah. Kemudian menghisapnya dalam-dalam. Menghembuskan asapnya, dan mengembalikan rokok itu padaku. Aku menerimanya dan menghisapnya. Segera asap berbau chivasku bercampur dengan asapnya. Kami terus berbagi sebatang rokok tanpa mengucapkan sepatah katapun. Bahkan tanpa saling melihat. Perpindahan rokok dari tanganku ke tangannya, dari mulutku ke mulutnya, hanya itulah yang menjadi komunikasi kami.

Setelah bara di rokok itu mulai habis, lelaki itu membuang dan menginjaknya. Kemudian dengan tangan kirinya, ia mengambil botol Chivas dari tanganku dan meneguk isinya. Dan kami mengulangi ritual yang sama. Kali ini dengan botol Chivas yang berpindah tangan. Masih tanpa kata. Setelah tegukan ketiga, aku meraih saku belakang celana jeansku, mengeluarkan kotak rokok, mengambil sebatang dan menyelipkannya di bibirku. Lelaki itu menyodorkan pemantik dengan api menyala untuk membakar rokokku. Tanpa saling memandang. Tanpa kata.

Ritual yang sama. Komunikasi berupa perpindahan batang rokok dan botol Chivas. Tiba-tiba tangan kirinya terangkat, menyelipkan rambutku ke telinga kananku.

"Siapa namamu?" tanyanya. Memandangku setelah sekian lama.
"Eve," jawabku tanpa menoleh. Masih memandang papan nama Jl. Dayang Sumbi.
"Hawa," gumamnya sambil sekilas membelai rambutku.

Kami kembali ke ritual itu. Meneguk sedikit demi sedikit Chivasku. Membakar berbatang-batang rokok dan berbagi. Kepalaku mulai terasa ringan. Pandanganku semakin kabur. Papan nama Jl. Dayang Sumbi itu ada dua. Otakku semakin tak mau bekerja sama. Semakin tak bisa berpikir. Aku tak mau memikirkan apapun.

"Kemana jaketmu?" tanya lelaki itu, mengangsurkan batang rokok padaku.
Aku diam. Merasakan mataku semakin berat. Semakin melayang. Kepalaku mulai miring ke kanan. Mencoba mengamati papan nama Jl. Dayang Sumbi dari kemiringan ini.
"Hawa...," lelaki itu menyebut namaku. Bukan memanggilku. Lirih. Namaku kah?
Aku masih diam. Membiarkan rokok terbakar. Tangan kirinya meraih telinga kiriku dan menangkup di sana. Kemudian kurasakan bibirnya menyentuh puncak kepalaku. Aku tetap diam dengan kepala masih miring ke kanan. Tak lagi mengamati papan nama Jl. Dayang Sumbi. Hanya memandang kosong.

"Kau kedinginan?" tanyanya lagi.
Aku menolehkan kepalaku. Untuk pertama kali, benar-benar memandangnya. Memandang wajahnya yang hanya berjarak dua puluh senti dari wajahku. Rokokku terjatuh. Berpikir pasti seperti inilah wajah malaikat. Mata berwarna coklat yang tajam dan dalam, hidung yang runcing, tulang pipi tinggi yang sempurna, bibir tanpa senyum, tulang rahang yang kokoh, kulit putih yang bersih. Aku memiringkan kepalaku, mencoba mencari kekurangan di wajahnya. Tidak ada. Lelaki ini adalah malaikat. Aku meyakinkan diriku. Atau alkohol yang meyakinkanku. Entahlah...

Setengah tak sadar aku mengangkat tanganku. Dengan jari telunjuk kutelusuri lekuk wajahnya. Dahinya, hidungnya, bibirnya, dagunya terus sampai ke dadanya dan berhenti tepat ketika tangan kirinya menangkap tanganku, menggenggam dan menempelkan ke dadanya, tempat jantungnya berada.

"Apa yang kau lakukan di sini, Hawa?" tanyanya lembut. Memandang lekat ke dalam mataku.
"Mencari...," jawabku. Merasa tersedot oleh pandangannya.
"Apa yang kau cari?"
"Sesuatu..."
Lelaki itu tersenyum seolah mengerti arti jawabanku itu.
"Apa yang kau rasakan?"
"Terperangkap. Terperangkap oleh perasaanku sendiri."
Lelaki itu tetap memandangiku. Seolah apa yang kukatakan begitu berarti untuknya.
"Aku ingin keluar dari perangkap ini. Aku takut...," sambungku.
Tangan kanannya, meletakkan botol Chivas di dekat kakinya, kemudian menyentuh pipiku. Aku menggigil. Sentuhan itu membuatku bergetar.
"Kau kedinginan," katanya salah mengerti arti getar tubuhku dan melepaskan semua sentuhannya padaku.
Aku langsung merasa kosong. Jangan lepaskan....

Lelaki itu melepas jaket yang dikenakannya, kemudian menyampirkannya di bahuku. Aku bisa melihat lengannya. Kulit putihnya yang tampak begitu kontras dengan kaus hitamnya. Setiap urat yang menonjol, tulang dan persendian di bawah kulitnya. Seakan bisa membaca pikiranku, perlahan lengan kokoh itu melingkari tubuhku dan menarikku lembut ke arahnya. Pandanganku berputar. Aku meletakkan kepalaku di dadanya, merasa aman, nyaman dalam pelukannya. Aku bisa merasakan dagunya menempel di ujung kepalaku. Mencium bau tubuhnya yang seperti bau rumput yang basah oleh embun. Seperti padang rumput. Mencium aroma nafasnya yang seperti angin setelah hujan, bercampur asap rokok dan alkohol. Aku merasa nyaman. Kenyamanan yang menakutkan.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku lirih. Berusaha menghirup banyak-banyak aroma tubuhnya.
"Untuk memberi apa yang kau inginkan," jawabnya mengetatkan pelukkan.
"Aku ingin dicintai..."
"Maka aku akan mencintaimu malam ini."
Aku tersenyum samar. Tiba-tiba merasa lelah. Aku ingin tidur.

Entah berapa lama kami tetap dalam posisi yang sama. Aku tidak tidur. Hanya beristirahat. Mengistirahatkan mataku, kepalaku, pikiranku. Berhenti bergerak, berhenti mencari, berhenti mengharap apapun. Membiarkan bibirnya mencium ujung kepalaku. Menghirup aroma shampo pada rambutku. Merasakan setiap belaian tangannya di punggungku, rambutku. Merasakan setiap otot yang menegang saat dia bergerak. Membiarkan diriku tenggelam. Menerima apapun. Menyerah.

"Ayo, Hawa, aku akan mengantarmu," bisiknya menempelkan bibir di telingaku.
Ia membantuku berdiri. Memapahku. Memeluk pinggangku.
"Jangan tinggalkan botolnya. Aku berjanji membawa botol beserta sisa isinya pulang, untuk seseorang," aku sempat berkata sebelum kami menyeberangi sisi jalan yang dari tadi kupunggungi. Menuju sedan hitam yang sedang terparkir di depan pintu pagar sebuah rumah yang sepertinya tak berpenghuni. Ia membukakan pintu depan untukku. Mendudukkanku di jok yang empuk dan terasa dingin. Mengapa sekarang aku baru bisa merasakan dingin? Menyelimutiku dengan jaketnya, kemudian menutup pintu. Aku menyandarkan kepalaku ke jendela mobil. Menghirup parfum mobil yang segar, kemudian tertidur.

Aku tersadar di kamar hotelku. Gelap. Hanya ada sedikit cahaya dari celah pintu kamar mandi. Aku masih mengenakan pakaianku. Lengkap. Kecuali sepatu dan kaus kaki. Aku berusaha melongokkan kepala mencari dimana sepatuku. Aku melihatnya di bawah meja rias, tergeletak rapi dengan kaus kaki yang tergulung di dalamnya. Bagaimana aku bisa sampai di sini? Ah, ya! Lelaki itu. Mungkin dia melihat gantungan kunci kamar hotelku. Mungkin dia juga yang melepaskan sepatu dan menggulung kaus kakiku.

Aku baru menyadari ada sebuah tangan kokoh memeluk pinggangku. Aku menyentuhnya lembut. Dan tangan itu menarikku. Lelaki itu, berbaring tengkurap di sebelahku. Ia menarikku lebih mendekat padanya. Aku berusaha menajamkan pandanganku. Hanya sisi wajah sebelah kirinya yang terlihat. Tapi matanya terbuka, memandangku lekat. Aku menyurukkan kepalaku di bawah dagunya. Merasa hangat. Tangannya berpindah dari pinggang ke pipiku. Membelainya lembut.

"Siapa yang melakukan ini padamu, Hawa?"
Suaranya membuat badanku berguncang. Menahan... sesuatu. Kepalaku masih berputar. Pandanganku masih mendua. Semuanya terdengar seperti berdengung. Tidak ada yang jernih.
"Setan," jawabku.
"Maka aku akan jadi malaikatmu malam ini."
Aku merasakan bibirnya menyapu rambutku. Mencium mataku, pipiku, leherku. Nafasku mulai berat.
"Siapa namamu?" aku bertanya di sela-sela hembusan nafas.
"Kau pilihlah nama untukku. Mikhael, Gabriele atau Lucifer?" sahutnya tanpa menghentikan ciumannya.
Aku meletakkan tanganku di kedua sisi wajahnya. Merasakan gumpalan-gumpalan rambutnya berdesir melewati sela-sela jariku.
"Entahlah. Aku tak pernah melihat mereka semua. Tapi menurutku wajahmu adalah wajah Lucifer, sang pemusik, yang tertampan. Sedangkan lenganmu, begitu kokoh. Begitu kuat seperti milik Mikhael dengan kemampuan berperangnya. Tapi kupikir kau ini adalah Gabriele karena kau begitu lembut. Gabriele pastilah malaikat yang lembut karena dia harus membawa kabar yang paling baik sampai yang paling buruk pada orang-orang," jawabku sambil menggosok-gosokkan ujung hidungku pada lehernya.
Malaikat itu menghentikan ciumannya. Memandang mataku lekat. Seolah ingin menarikku, tenggelam, dan menyatu dengannya.
"Lucifer bukan lagi malaikat, Hawa. Dialah yang membuatmu keluar dari Edenmu. Keluar dari kebahagiaanmu," katanya serius. "Dialah Setan," lanjutnya lagi.
"Kalau begitu kau bukan Lucifer," aku menyahut, melingkarkan tanganku di dadanya. Memeluknya, "maka bawa aku kembali masuk ke Edenku."

Kemudian kami bercinta. Bercinta seperti ingin saling memusnahkan. Menelusuri setiap lekuk yang ada pada tubuh kami. Menjelajahinya seperti Kapten Columbus. Bercinta seperti berusaha melewati batas kulit dan daging. Saling memeluk seakan ingin tenggelam. Seperti orang kelaparan yang menemukan setumpuk kue dadar. Dan sepanjang waktu itu ia terus memandangku. Memandangku seolah aku mahluk paling indah yang pernah dilihatnya. Memandangku seolah akulah satu-satunya hal yang diinginkannya di dunia. Dan aku merasa cantik. Cantik seperti seorang dewi dan sekaligus seperti pelacur. Sampai akhirnya kami meledak bersamaan. "Hawa, aku mencintaimu, malam ini!" serunya dengan suara parau seiring dengan puncak yang berhasil digapainya. Kemudian kami jatuh tertidur, saling memeluk.

Aku bangun saat sinar matahari menerobos celah-celah tirai kamar hotel. Secara spontan aku meraih ke sebelah kiriku. Mencari-cari, dan kecewa karena tidak menemukannya. Malaikat itu sudah pergi. Aku memandang ke sekeliling kamar. Berusaha mencari sisa-sisa dari apa yang terjadi semalam. Tak ada apa-apa kecuali hangover yang menderaku dahsyat.

Malaikat itu, hanya mencintaiku semalam. Semalam sudah cukup.
Siapa namanya? Mikhael... Gabriele... atau Lucifer....?



[on the chart : Marlboro Lights, Aqua + es batu, merasa jadi seorang masochist, es teh manis, beberapa teguk Chivas sisa kemarin. Tanpa lagu. Lagu membuat semuanya jadi terasa 100 kali lipat lebih buruk]

Monday, September 25, 2006

The Hardest Day - The Corrs



Kamu bilang aku mempunyai kemampuan untuk menuliskan apa yang sedang aku rasakan. Mendeskripsikannya sehingga membuat orang yang membaca bisa ikut merasakan apapun yang sedang kurasakan. Kali ini, tidak ada kata apapun yang bisa kutuliskan untuk mengungkapkan apa yang kurasakan. Tidak ada kata yang cocok untuk melukiskannya. Atau aku hanya kehilangan kata-kata? Entahlah...

Baru beberapa menit yang lalu, aku merasakan tubuhmu menempel ketat dengan tubuhku. Merasakan lidahmu menyapu tubuhku. Kulitmu menggesek lembut kulitku. Aku merasa seperti di awang-awang. Tidak pernah seperti ini. Tidak pernah merasa seperti ini. Merasakan kedua kakiku melingkari pinggangmu, sementara tanganku membelai setiap inci kulit punggungmu. Menyebut namamu di sela-sela desah nafasku. Kita bergerak, bersama, mencari, mengejar, berirama. Bibirku menyusuri dadamu, lehermu, menghirup dalam-dalam aroma parfummu yang bercampur keringat. Memainkan rambutmu di sela-sela jariku. Otakku lumpuh. Tak bisa memikirkan apapun. Yang kuingat hanya mulutku menyebut namamu berkali kali. Sementara tanganmu, ya, kedua tanganmu yang selalu berhasil membuatku merasa nyaman itu merengkuh bahuku. Menarikku lebih rapat ke tubuhmu. Merangsekku, seakan ingin menghancurkan setiap sendi tulang-tulangku. Dan aku merasa bahagia. Aku bahagia... Berusaha mengingat kapan terakhir kali aku merasa seperti ini. Terlalu lama... Entahlah. Otakku sama sekali tak mau bekerja sama. Dan kita bergerak semakin cepat... semakin cepat... Aku bagai tenggelam. Tersengal-sengal mencoba bernafas. Segalanya semakin kabur. Yang kuingat hanyalah bibirmu yang menempel di pipiku dan bibirku yang menempel di bahumu. Sampai segalanya semakin cepat, semakin kabur dan meledak! Seiringnya, air mata mulai melelehi pipiku. Kau tak akan melihatnya. Ruangan ini terlalu gelap. Kau tak boleh melihatnya. Aku menggigit bibirku agar tak berteriak,

"I... love... you...!"
"I do!"

Terbaring kelelahan. Mencoba mengatur nafas, tanganmu melingkari kepalaku. Memegang pipi kananku. Hangat. Aku berusaha menahan isakku. Kau tak boleh mendengarnya. Semakin lama nafasmu semakin berat. Berat dan teratur. Kau mulai memasuki alam mimpi dengan bantuan endorphine. Aku menatap wajahmu yang damai. Berkali-kali menahan tanganku di udara ketika tanpa sadar bergerak untuk mengusap pipimu, bibirmu. Aku menikmati seluruh dirimu dengan pandanganku. Dadamu yang naik turun teratur, jarimu, kuku kelingkingmu dan kembali menatap wajahmu. Aku tersenyum. Tersenyum dan menangis. Aku akan merindukan semua ini. Aku akan merindukanmu. Aku akan merindukan diriku saat bersamamu. Aku akan merindukan rasa bahagia yang selalu kau bawa sebagai oleh-oleh untukku. Aku akan kehilangan semuanya. Dan kembali aku tersenyum. Menahan tanganku di udara sebelum sempat menyentuh kulitmu.

Aku akan kehilanganmu....


One more day, one last look
Before I leave it all behind
And play the role that's meant for us
That said we'd say goodbye

One more night by your side
Where our dreams collide
And all we have is everything
And there's no pain, no hurt
There's no wrong it's all right

If I promise to believe will you believe
That there's nowhere that we'd rather be
Nowhere describes where we are
I've no choice, I love you
Leave, love you wave goodbye

And all I ever wanted was to stay
And nothing in this world's gonna change, change

Never wanna wake up from this night
Never wanna leave this moment
Waiting for you only, only you
Never gonna forget every single thing you do
When loving you is my finest hour
Leaving you, the hardest day of my life
The hardest day of my life

I still breathe, I still eat
And the sun it shines the same as it did yesterday
But there's no warmth, no light
I feel empty inside

But I never will regret a single day
I know it isn't going to go away
What I'm feeling for you
I will always love you
Leave, love you wave goodbye

And all, and all I ever wanted was to stay
Nothing in this world's gonna change...

Never wanna wake up from this night
Never wanna leave this moment
Waiting for you only, only you
Never gonna forget every single thing you do
When loving you is my finest hour
I never knew I'd ever feel this way
I feel for you...

Never wanna wake up from this night
Never wanna leave this moment
Waiting for you only, only you
Never gonna forget every single thing you do
When loving you is my finest hour
Leaving you, the hardest day of my life...

Never wanna wake up from this night...



Baru lima menit yang lalu...

That lil bliss is gone.
My lil demon. Not mine anymore. Never mine.

I'm all alone...

I'll be ok... I will be okay!
Keep telling my self...
I am gonna be OK!!!

Monday, September 18, 2006

108.000 Detik



Pelahan aku membuka mataku. Mengamati sekelilingku. Mengerjap-erjapkan mata sebentar berusaha menyesuaikan pandanganku pada ruangan yang masih gelap ini. Di mana? Jam berapa? Aku memicingkan mata, melihat ke arah jam dinding Happy Holly Kids di atas meja komputerku. Happy Holly kids! Hah! Aku sempat tersenyum sinis. I'm no more a kid! Apa lagi holly. Dan jelas aku tidak merasa happy sama sekali. Mungkin sudah waktunya aku mengganti jam dinding itu dengan jam dinding Lucky Luke yang pernah kulihat di Plaza Senayan. Jam 1 siang. Gila! Berapa jam aku tidur?

Aku mencoba bangun dari tempat tidur. Begitu berhasil menarik badanku sampai ke posisi duduk, aku langsung menyesalinya. Serangan migrain parah langsung menerpa kepalaku. Shit! Seharusnya aku tetap berbaring saja. Tapi sudah terlanjur. Jadi aku memaksa diriku untuk bangkit. Terhuyung-huyung menuju ke saklar lampu. Kamar ini terlalu gelap. Selalu gelap. Walaupun ada jendela sebesar dosa, tapi dengan tirai yang begitu tebal, sinar matahari sepertinya tidak mampu menembusnya. Aku ingat seseorang berkata kalau kamar ini seperti blackhole. Sekali masuk, orang akan lupa dengan waktu, cahaya atau apapun yang biasanya terjadi di luar sana. Tempat retreat yang bagus kurasa. Mengalahkan segala macam Domus yang bertebaran di daerah puncak sana, dengan kegiatan-kegiatan yang bertolak belakang yang bisa dilakukan.

Begitu lampu kunyalakan, mataku langsung menyipit. Kaget dengan keadaan yang tiba-tiba terang benderang. Perlu beberapa detik untuk menyesuaikannya kembali. Sementara itu kepala sebelah kiriku masih berdentum-dentum menuntut dua butir paramex segera di sarangkan ke tenggorokanku. Tapi tidak. Perutku belum diisi apapun sejak jam empat sore kemarin. Jadi kubiarkan saja kepalaku berdentum-dentum.

Mengisi mug-ku dengan air hangat. Biasanya aku hanya minum aqua dan es batu. Tapi ada orang bilang bahwa air hangat saat bangun tidur bagus untuk... entahlah... pencernaan or crap like that. Aku tidak terlalu perduli soal kesehatan itu. Hanya saja memang sedang tidak ada es batu di sini. Dan aku malas keluar untuk membelinya. Meneguknya sedikit demi sedikit sambil kunyalakan komputerku. Tak lama Radiohead mulai meneriakkan True Love Waits-nya. Aku menyalakan rokok, kemudian berdendang bersama Thom Yorke.

I'm not living
I'm just killing time
Your tiny hands
Your crazy kitten smile

Just don't leave
Don't leave

And true love waits
In haunted attics
And true love lives
On lollipops and crisps

Just don't leave
Don't leave


Menghembuskan asap dari sela-sela bibirku. Aku merasa ruangan ini mulai berputar. Aku memejamkan mata berusaha menghentikannya. Menyandarkan kepalaku ke dinding. Tiba-tiba aku didera rasa kesepian yang luar biasa. Rasanya begitu kosong. Sendiri. Kosong. Ah, ada apa denganku? Masih dengan mata terpejam, aku mulai mengingat apa saja yang kulakukan kemarin.

Ah, ya. Tiga puluh jam yang menyenangkan. Denganmu. Mewujudkan semua yang pernah kubayangkan. Berbicara dan terus berbicara, menikmati setiap ekspresimu yang berubah-ubah sesuai dengan setiap cerita yang keluar dari mulutmu. Menikmati sinar matamu yang kadang redup, berbinar-binar, bersemangat dan terkadang bahkan terlihat seperti terluka. Memandangi bibirmu yang terus bergerak seiring dengan setiap kata yang mengalir keluar darinya. Bibirmu yang selalu membentuk ekspresi menarik. Tersenyum, cemberut, tertawa, menyeringai, semuanya! Bibirmu yang selalu tampak kering. Aku menahan keinginanku yang begitu kuat untuk menyentuhnya. Berusaha untuk tidak membayangkan bagaimana rasanya bila bibir itu menempel di bibirku. Pasti manis. Bagaimana teksturnya akan terasa di lidahku yang menyapunya lembut. Menikmati suaramu saat tertawa. Ya. Tawa falsetto-mu yang menyenangkan itu.

Duduk di boncengan dengan tanganku memelukmu dari belakang. Berharap kau tidak sedang memakai helm mahal sialanmu itu agar aku bisa membisikkan bermacam-macam kata yang ada di otakku. Berharap bisa menghembuskan nafasku di lehermu, hingga kau benar-benar menyadari bahwa aku ada. AKU ADA DI SINI! AKU!!! YANG SELALU ADA DI SINI! Berharap kau tidak mengenakan jaket coklat airforce mu itu. Agar tanganku bisa menyusup masuk dari bawah t-shirt hijaumu. Meraba setiap bagian dari perutmu. Perut yang selalu kau keluhkan karena mulai ada tonjolan-tonjolan lemak di kiri-kanannya. Perut yang sama yang membuatku tergila-gila. Ingin selalu menyentuhnya. Memainkan jariku membentuk lingkaran-lingkaran kecil di sana. Menyapunya dengan lidahku. Perut tempat aku meninggalkan dua tanda merah kecil. Bukan seperti cap hak milik. Karena aku sama sekali tidak punya hak untuk memilikinya.

Berada di sebelahmu dalam ruangan gelap sambil menonton film apapun yang sedang diputar, tanpa benar-benar mengerti ceritanya karena aroma parfummu yang menggoda itu terus menerus menggangguku. Aroma yang membuatku ingin menjadi seorang Amelia Earhart, terbang ke awang-awang. Atau hanya hilang melebur dengan udara. Aku tak peduli. Memaksaku kembali ke satu adegan yang selalu terputar di dalam kepalaku. Kau tahu kepala tempat tidurku? Ya, kau duduk bersandar di sana dengan aku di pangkuanmu. Berhadap-hadapan. Kedua tanganmu di punggungku mengusapnya lembut, kedua tanganku memegang belakang kepalamu memainkan rambutmu yang halus seperti rambut bayi. Saling berpandangan. Perlahan wajah kita saling mendekat, dan di sanalah aku melumat bibirmu dengan lembut. Lembut dan rakus, karena begitu lama menginginkannya. Sementara bibirmu menjelajahi leherku dan terus turun ke bawah, ke bahuku, dan terus sampai ke tengah dadaku. Sementara aku mendongak berusaha mengatur setiap desah nafasku. Kemudian mendekatkan bibirku ke telingamu dan membisikkan kata-kata itu. Those three magic words. Tanpa perlu merasa takut akan pahitnya penolakan. Dan kita akan bercinta dengan begitu lembut dan panas. Sama seperti yang selalu kita lakukan. Tapi kali ini, di dalam kepalaku, kita bercinta. Bukan sekedar berhubungan sex. Aku hanya berharap kau tidak mendengar degup jantungku sepanjang film itu. Seandainya film yang kita tonton adalah film dengan banyak penggalan kepala dan darah berceceran. Maka aku akan punya alasan untuk menyurukkan kepalaku ke bahumu. Berpura-pura ketakutan karena melihat darah. Walaupun aku memang akan jadi sangat ketakutan. Tapi setidaknya dengan ketakutan itu aku bisa menggenggam tanganmu.

Memainkan permainan favoritku, berharap kau mengalahkanku, karena memang seharusnya seorang lelaki bisa mengalahkan perempuan sepertiku dalam permainan itu. Berkali-kali melirik, mencuri pandang ke arahmu yang sedang sibuk menghindari mobil-mobil virtual. Sial! Memikirkannya saja bisa membuatku berdebar-debar. Seperti remaja perempuan yang baru mengenal puber. Bermain adu panco ayam dengan score 4:1. 4 untukku tentunya. Melepaskan kekanak-kanakanku denganmu, rasanya begitu indah. Menyenangkan. Aku merasa bisa menjadi siapapun saat denganmu. Aku bisa jadi apa saja. Aku bisa menjadi orang paling tolol ataupun orang paling cerdas di dunia. Aku bisa jadi menawan sekaligus kikuk. Aku bisa merasa sedih sekaligus bahagia. Aku bisa menangis dan tertawa secara bersamaan. Aku menyukai diriku saat denganmu. Membayangkan segala hal gila yang ingin kulakukan bersamamu. Mendatangi tempat-tempat baru bersamamu. Bercinta di bawah langit dengan bintang yang bertaburan, ataupun langit dengan awan dan kabut polusi yang menggantung seperti wabah penyakit. Aku tak peduli! Terkikik-kikik geli, bergandengan tangan sambil berlari berjingkat-jingkat memasuki toilet pria di Plaza Indonesia lewat pukul dua belas malam. Seperti dua orang anak kecil yang mencoba mencuri kue coklat yang baru dipanggang.

Aku ingin membagi tempat rahasiaku denganmu. HANYA denganmu. Duduk di atas rumput yang basah, entah karena bekas hujan ataukah karena embun yang tercipta dari hawa dingin. Memandang ke kejauhan, ke hamparan ribuan permata berwarna-warni. Tangan kiriku menjepit rokok, tangan kananmu memegang jagung bakar, sedangkan kedua tangan kita yang lain terjalin erat. Aku ingin melakukan banyak hal gila denganmu. Liar mungkin. Seperti mengecat kukumu. Atau simply memaksamu memakai celana dalamku Teddy Bearku. Aku ingin melakukan banyak hal 'pertama-kali' denganmu. Seperti berkendara menyusuri kelak-kelok jalan mendaki sambil membuka jendela mobil lebar-lebar, mengeluarkan separuh badan sambil berteriak menyanyikan Only Hope-nya Switchfoot, "so I lay my head back down... And I lift my hands and pray... To be only yours, I pray... To be only yours... I know now you're my only hope...". Berenang telanjang berdua di danau yang indah, di bawah bulan purnama. Ya, tentu kau tak bisa berenang. Kalau begitu, aku tak keberatan untuk sedikit mengubah khayalanku., pantai yang sepi dan indah di bawah bulan purnama juga tak apa. Duduk berdua di tepi pantai, tanpa berbicara, hanya tangan kita saling menggenggam. Memang tidak sespektakuler berenang telanjang di danau. Tapi aku juga tak pernah duduk di pantai berdua dengan lelaki manapun. Jadi ini tetap akan jadi hal 'pertama-kali' untukku. Karena hanya kau seorang yang tidak mengangkat alis dan melempar pandangan 'Tuhan-Tolong-Ada-Orang-Gila-Mau-Membunuhku' setiap aku menceritakan semua hal yang paling gila padamu. Hal-hal yang tak pernah kuceritakan pada orang terdekatku sekalipun. Kau begitu mengerti. Atau kau hanyalah seorang aktor yang sangat hebat.

Aku berkata padamu kemarin, "aku jadi berpikir bahwa ternyata kau tidak sebaik itu." Itu bohong! Kau sebaik itu! Bahkan lebih. Aku hanya berharap kau tidak sebaik itu agar aku bisa membencimu. Membencimu dan melupakanmu! Seandainya kau tidak sebaik itu... Dan seandainya aku bisa membenci dan melupakanmu... Aku ingin punya kemampuan untuk pergi. Seandainya aku sekuat itu.

Aku juga berkata, "entah kenapa, aku merasa tidak begitu dekat denganmu seperti seharusnya." Itu juga bohong! Aku merasa begitu dekat denganmu. Membuatku merasa nyaman. Terlalu nyaman. Itu menakutkanku. Aku membiarkan dinding-dinding pelindungku terbuka terlalu lebar. Sampai tanpa sadar semua ini sudah menyerangku, menderaku, merajamku dengan bertubi-tubi. Serangan di saat yang paling tak kuduga. Dan itu melumpuhkanku.

Entahlah... mungkin aku hanya ingin menyakitimu. Agar kau mau pergi dariku.

Delapan jam yang lalu. Aku harus merelakan tiga puluh jam yang sempurna itu berakhir. Aku masih ingat yang kuucapkan sambil mengamatimu membereskan semua barang-barangmu, karena kau memang harus pulang sepagi ini. "Ah, ternyata aku bisa tidur lebih nyenyak dengan komputer dimatikan." "Nggak, tidurmu lebih nyenyak karena ada aku," jawabmu mengerling, menggodaku. Aku hanya tersenyum. Diam-diam mengiyakan dalam hati. Mengingat bagaimana menggenggam jari kelingkingmu ternyata lebih mujarab untuk membawaku ke alam mimpi dari pada dua tablet valium yang biasanya harus kukonsumsi sebelum tidur. Walaupun kadang aku harus tersentak kaget karena tanganmu--yang seharusnya disekolahkan lebih tinggi itu--selalu berusaha masuk ke dalam t-shirt tidur yang kukenakan, mencari-cari benda kesukaanmu untuk kemudian menangkup dan diam di sana. Tapi itu tidak pernah membuatku terganggu. Biasanya aku hanya tersenyum maklum, menangkupkan tanganku di atas tanganmu dan kembali tertidur.

05:20 aku mengantarmu keluar. Melihatmu memanaskan mesin motor. Menahan keinginan untuk menyentuhmu. Keinginan untuk melingkarkan tanganku di dadamu sambil menghirup dalam-dalam aroma parfum sialanmu yang aku yakin sudah menempel di bantal, guling dan selimutku. Sisa-sisa dirimu yang akan kunikmati nanti, saat aku melanjutkan tidurku. Sendiri. "Aku pulang ya," katamu sambil memegang lengan kiriku. Membelainya sedikit. Dan aku merasa seperti menenggak beberapa strip pil koplo. Melayang dan bodoh. Hanya bisa mengangguk sambil berkata, "hati-hati ya." Padahal ada begitu banyak kata-kata di dalam kepalaku yang ingin kuucapkan. Begitu banyaknya sampai aku sendiri tak tahu kata-kata apakah itu.

Ah, sepertinya itu hanya tiga puluh jam dari alam mimpi. Tidak benar-benar nyata. Dan kalau itu semua benar mimpi, aku tak mau bangun! Tapi itu nyata! Dan selama tiga puluh jam itu aku merasa bahagia. Lalu kenapa kini aku bangun dalam keadaan begitu kosong dan kesepian. Kehilangan apa yang tak pernah kumiliki. Tidak yakin bahwa semua itu akan kurasakan lagi. Aku tak mau bangun! Biarkan aku terus tertidur!

Ah, hope I'll never wake
when I'm thinking about you.
So that you know,
I never want to wake
cause now I'm thinking about you.

When you're searching your soul,
when you're searching for pleasure,
how often, pain is all you find.
But when you're coasting along
and nobody's trying too hard,
you can turn around and like where you are.

Yeah, and I hope I never wake
when I'm thinking about you.
And I close my eyes, dear,
now I'll never, never wake,
why should I stop thinking about you?

Kosong... kosong... Semuanya kosong. Ah, rasanya begitu ingin aku berteriak berharap bisa menghentikan gejolak aneh di perutku. Ini lebih parah dari hangover karena menenggak berbotol-botol smirnoff. Mengapa...? Menggapa...? Pertanyaan itu terus menerus berputar di kepalaku.

23:20 - 23:20 - 05:20.
Mungkin karena hanya itu yang bisa kupinjam dari sang waktu. Kupinjam, tapi tak pernah kumiliki. Karena aku tak pernah punya kuasa untuk bisa benar-benar mengambilnya dan menjadikannya milikku. Aku hanya bisa meminjamnya. Meminjam dari sang waktu, atau perempuan yang seharusnya tak kuketahui namanya itu.

Hanya meminjam...

Aku ada. Aku ada di sini. Aku. Yang ada di sini. Untukmu. Aku.
Berpalinglah...
Dan melihat padaku...

This is the place where I sit
This is the part where
I love you too much
Is this as hard as it gets?
'Cause I'm getting tired
Of pretending I'm tough
I'm here if you want me
I'm yours, you can hold me
I'm empty and taken and
Tumbling and breakin'

'Cause you don't see me
And you don't need me
And you don't love me
The way I wish you would
The way I know you could

I dream of worlds
Where you'd understand
And I dream a
Million sleepless nights
I dream of fire when
You're touching my hand
But it twists into smoke
When I turn on the lights
I'm speechless and faded
It's too complicated
Is this how the book ends,
Nothing but good friends?

'Cause you don't see me
And you don't need me
And you don't love me
The way I wish you would

This is the place in my heart
This is the place where
I'm falling apart
Isn't this just where we met?
And is this the last chance
That I'll ever get?
I wish I was lonely
Instead of just only
Crystal and see-through
And not enough to you

'Cause you don't see me
And you don't need me
And you don't love me
The way I wish you would

'Cause you don't see me
And you don't need me
And you don't love me
The way I wish you would
The way I know you could


[on the chart : Marlboro Lights, Aqua (neat!), Radiohead - True Love Waits, Switchfoot - Only Hope, Mandy More - Only Hope, The Sundays - Thinking About You, Jossie and The Pussycats - You Don't See Me]

Wednesday, September 13, 2006

Kenapa tidak biarkan saya menjalani kehidupan saya sendiri? Kenapa saya harus menjalani kehidupan yang tidak saya mau demi menyenangkan orang lain? Saya punya cita-cita dan keinginan sendiri. Bukannya hanya sebagai cadangan orang-terakhir-yang-bisa-melakukan-apa-yang-kita-mau-sayang.

Beberapa posting yang lalu saya mempertanyakan mengapa kata "kenapa" harus diciptakan. Sekarang saya akan menggunakan kata itu sebanyak2nya.

Kenapa saya harus jadi anak terakhir? Sehingga ketika kakak2 saya sudah menentukan jalan hidup mereka sendiri, hingga akhirnya hanya ada saya yang tertinggal untuk menjalani kehidupan yang diinginkan orang tua saya. Membetulkan semua kesalahan yang dilakukan kakak2 saya. Kenapa beban itu ada di saya? I'm only 28 years for god's sake! Saya punya hak untuk menikmati kehidupan saya sendiri!

Kenapa saya harus jadi cadangan? Selalu jadi cadangan!
"Ah, ya anak kedua kita nggak mau menjalani kehidupan sesuai yang kita mau. Masih ada anak terakhir kita, sayang. Yang akan melakukan apapun untuk menyenangkan kita. Yang akan melepaskan segala kebahagiaannya demi kita. Oh, anak pertama kita membuat kesalahan dengan hidupnya! Ah, nggak papa. Masih ada anak bungsu kita untuk membetulkan semuanya."

Kalau akhirnya saya tidak diberi hak untuk menjalani kehidupan yang saya inginkan. Kenapa juga saya dilahirkan? Ah shit! Saya ingin berteriak, tapi terlalu takut mengganggu orang2 yang ada di sekitar saya. Saya tidak tahu harus lari kemana, harus melakukan apa. God! Rasanya latihan bertahun2 dengan kuku jari di tancapkan dalam2, kemudian ditarik melintas dari sebelah kiri ke kanan leher, akan berguna. Hanya kali ini tidak menggunakan kuku jari.

Seandainya saya seberani itu...

Tuesday, September 12, 2006

Mars and venus in the bed room!
Mungkin itu akan jadi judul yang cocok untuk tulisan saya kali ini. Tapi sayangnya saya ngga terlalu suka mencantumkan judul dalam setiap tulisan saya. :)

Eniwei, off to our topic.
Saya hanya melihat ini dari kacamata seorang perempuan.

1. Kadang perempuan lebih suka bercinta dalam keadaan kamar gelap gulita.
Kenapa? Mungkin karena dalam keadaan gelap, perempuan cenderung berharap agar gelambir2 lemaknya tidak terlihat dengan jelas, seperti ketika lampu kamar dinyalakan. Atau mungkin supaya ekspresi hornynya yang terlihat seperti sapi yang menggeliat2 tidak terlihat jelas hingga bisa membuat pasangannya jadi turn off. Intinya, perempuan bisa jadi merasa lebih secure, lebih nyaman dalam keadaan gelap gulita. Nah, yang jadi permasalahan adalah, ada beberapa laki-laki yang ngotot ingin 'melakukannya' dalam keadaan terang benderang. Dengan berbagai alasan tentunya. "Aku ingin menikmati setiap gerakan dan mimik muka hornymu itu, sayang. Karena itu membuatku benar-benar terangsang." Sebenernya cukup menyanjung juga ya pernyataan itu. Tapi perempuan punya lebih banyak hal yang dipikirkan kalo sedang bercinta. Mungkin lebih banyak daripada laki2. Untuk laki2 mungkin hanya ada 2 hal untuk dipikirkan saat bercinta, "di dalem, di luar?" atau "4x4=16, 7x3=21, 18:2=9" Tapi perempuan, saat sedang bergerak naik turun di atas tubuh lelaki itu lalu berpikir, "ya Tuhan, jangan2 lemak diperut saya bergetar menggelenjar seperti jell-o!". Dan percaya atau tidak, pikiran2 seperti itu membuat wanita bergerak semakin jauh dari titik orgasmenya. Jadi untuk para lelaki, kalau kalian ingin merasa jadi lelaki perkasa yang mampu membawa wanitamu ke surga multiple orgasm, turuti saja maunya. Kalau perempuan itu mau lampu mati, ya matikan lampu. Setidaknya sampai dia merasa benar2 aman dan nyaman untuk akhirnya mau bercinta dalam keadaan terang benderang.

2. Ini sebuah kebiasaan aneh perempuan. Yah, namanya bercinta, berhubungan sex, ML, bersenggama atau apapun namanya, biasanya bugil yah. (kecuali pada waktu2 tertentu, seperti quicky atau kebelet-banget-dimobil-jadi-deh.) Jadi praktis si lelaki udah melihat setiap lekak-lekuk tubuh si perempuan tanpa ada selembar kainpun menutupi. Tapi kenapa setelah selesai bercinta, si perempuan malah langsung menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya dan menoleh ke arah pasangannya, "sayang kamu ngadep sana dulu dong, aku mau make baju nih." Dan si lelaki dengan tampang bengong menjawab, "Woh? Bukannya dari tadi aku udah ngeliat badan kamu semua sampe ke sela2 lipitan2 apapun itu namanya?" *geleng2 kepala* Bukan. Itu bukan jawaban yang tepat, Kamerad! Mungkin anda para lelaki perlu tahu kenapa perempuan suka bertindak bodoh seperti di atas. Memang, perempuan nyadar kalo si lelaki sudah melihatnya dalam keadaan 'polos' sepolos2nya. Tapi kami *perempuan* cenderung berpikir pada waktu sedang 'begituan' kan otak lelaki cenderung ga kepake, kecuali buat mikirin 2 hal yang sudah saya sebut di atas tadi. Jadi pasti nggak sempet memperhatikan codet kecil di atas puser, atau lemak lemak yang menggelambir. Tapi disaat semua permainan mengejar-napsu-menuju-puncak sudah selesai, pasti otak (dan mata tentunya) lelaki akan jadi lebih jeli. Jadi lelaki akan bisa lebih memperhatikan bentuk tubuh si wanita sambil berpikir "Oh God, ternyata tadi saya bercinta dengan sapi yang menggeliat2". Jadi, kalo perempuan kalian ada yang melakukan hal bodoh seperti di atas, jawaban yang paling tepat adalah "sayang, aku suka kok dengan pemandangan yang aku liat, lengkap dengan segala lemak dan codetnya." Pasti tidak perlu waktu lama untuk memasuki "ronde kedua".

3, 4 dan seterusnya. Sebenernya masih banyak hal2 tolol yang dilakukan perempuan, dan tidak dipahami laki2. Tapi saya males aja nulisnya. Emangnya saya keturunannya dr. Naek L Tobing? Ya, ya sebenernya saya memang bukan pakar sex. Saya cuman seorang sok tau yang mencoba menulis berdasarkan pengalaman pribadi. Jadi, kalo ada yang salah, mohon dikoreksi. :)

Thursday, September 07, 2006

Kenapa pertanyaan 'kenapa' harus diciptakan?

Contoh pertanyaan-pertanyaan yang menggunakan kata "kenapa" yang diajukan pada saya.
1. "Kenapa kamu belom mandi?"
Buat apa mengetahui alasan saya belum mandi? Yang penting kan faktanya saya memang belum mandi.

2. "Kenapa kamu merusakkan mainannya?"
Buat apa mengetahui alasan saya merusakkan mainan orang lain? Yang penting kan faktanya mainan itu sudah rusak.

3. "Kenapa kamu suka sama saya?"
Pertanyaan paling bodoh. Yang penting faktanya adalah saya suka sama kamu! Kadang saya sendiri nggak tau kenapa. Because you're so goddamn stupidly smart? Saya rasa ada orang lain yang lebih smart dari kamu. Because you're so unbelievably handsome? Nope, you're not. Karena saya merasa begitu nyaman berada dekat denganmu? Saya pernah merasa lebih nyaman dengan orang lain. Karena bola matamu yang berwarna coklat keabu-abuan itu? Nggak ada hubungannya! Jadi kenapa? Nggak penting! Yang penting faktanya saya suka sama kamu. Yet, banyak orang yang menanyakan pertanyaan bodoh seperti ini.

Lalu kalau posisinya dibalik, saya sebagai penanya.
4. "Kenapa kamu tidak merespon saya?"
Apa kamu bisa jawab? Mungkin bisa. Tapi buat saya, yang penting adalah faktanya, bahwa kamu tidak merespon saya. Jadi buat apa juga kamu melemparkan pertanyaan ketiga? Toh, setelah kamu tahu mengapa saya suka kamu, tetap saja kamu tidak merespon saya.

Pertanyaan berikutnya.
5. "Kenapa kamu tidak merespon saya, tapi juga tidak mau melepaskan saya?"
Saya tahu jawabannya. Pasti ada hubungannya dengan ego kamu. Dan saya tetap tidak bisa menerima jawaban itu. Masuk akal, tapi terlalu sederhana. Jawaban itu tidak cukup untuk saya. Jadi buat apa saya tahu alasan mengapa kamu tidak merespon saya juga tak mau melepaskan saya? Yang penting faktanya begitu.

Dan pertanyaanpun berlanjut.
6. "Kenapa saya begitu ingin pergi, tapi akhirnya saya justru merasa kosong, sakit, sedih dan tidak rela setiap kali saya memutuskan untuk pergi?"
Saya tidak bisa menjawab pertanyaan ini. Karena faktanya, saya tidak pernah berhasil untuk benar-benar pergi.

7. "Kenapa saya meminta kamu untuk pergi, padahal dalam hati, saya sama sekali nggak mau kamu tinggalkan?"
Mungkin karena saya perempuan. Perempuan berpikir memakai hati. Tapi jumlah testosteron dalam tubuh saya di atas rata-rata. Jadi saya merasa bahwa logika saya harus menang melawan hati. Perlawanan logika dan hati? Hanya menimbulkan sakit dan depresi berkepanjangan.

Ya, saya tahu kenapa pertanyaan "kenapa" itu diciptakan.
Agar saya bisa mendapat semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas.
Agar saya bisa menanyakan semua pertanyaan itu.
Agar saya bisa menanyakan: "kenapa pertanyaan "kenapa" harus diciptakan?"
Tapi kenapa saya tidak pernah mendapat jawaban yang bisa saya terima?
Karena saya hanya harus menerima faktanya saja.