Thursday, April 10, 2008

Hari ini hujan, Bunda. Aku masih berkutat dengan keseharianku. Aku jadi teringat pesanmu. “Jangan pulang terlalu malam, nduk.” Atau, “kamu jaga diri baik-baik ya…”.

Aku telah gagal, Bunda. Gagal menjalankan pesanmu. Aku melalaikan petuahmu. Aku kesakitan. Dan setiap rasa itu datang, aku merintih, memanggilmu, Bunda. Merindukan rumah 9 bulanku. Tempat amanku. Rahimmulah pelindungku. Denyut jantungmulah penenangku. Bunda, aku terluka…

Setiap malam, disela sesak nafasku, wajahmu terbayang. Aku menggapaikan tanganku, berusaha meraihnya. Bunda tersenyumlah untukku. Karena senyummu memberiku kekuatan. Aku berteriak, memohon pertolonganmu. Mengharap kau membawaku keluar dari kubangan perih yang kurasa. Bunda, tolong aku…

Bunda, aku kangen rumah. “Aku ingin pulang”, kata-kata itu selalu terngiang ditelingaku. Aku ingin ini semua berakhir. Aku tidak lagi punya kekuatan, Bunda. Aku tidak lagi mau berjuang. Aku lelah. Bawa aku pulang, Bunda…

Sekarang disinilah aku. Berteman segelas air, rintik hujan, bau tanah basah, dan pembebasanku. Jalanku menuju rumah. Maafkan aku, Bunda. Aku tahu ini bukanlah mimpimu untuk diriku. Ini bukan keinginanmu untuk terjadi padaku. Bunda, aku ingin bertemu denganmu. Bersatu lagi seperti dulu. Maka ijinkanlah aku berjalan di jalan ini. Ijinkan aku pulang…

Bunda, perih ini tak mau hilang. Kesakitan ini selalu mengikutiku kemanapun aku pergi. Luka ini tak kunjung sembuh. Biarkan aku terbebas darinya. Atau biarkan aku membawanya sampai ke akhir tujuanku.

Bunda, anakmu tak lagi punya tenaga…
Bunda, biarkan aku tidur…
Bunda, anakmu pulang.

Tuesday, April 01, 2008

Bandung, lima tahun yang lalu.

Aku duduk menghadap ke jendela kamar kosku. Menikmati setiap tarikan nikotin yang masuk ke dalam paru-paru. The Sundays terdengar sayup-sayup dari winamp player. Aku hanya terdiam memandang kosong ke langit yang gelap. Sudah beberapa hari ini mendung menggantung, sama sekali tidak membantu mencerahkan suasana hatiku yang kelam. Hitam. Gelap.

Bau lembab habis hujan masih juga belum hilang. Dan aku masih terus memandang kosong ke kejauhan. Mengharapkan sesuatu. Mengharapkan apa? Mengharap hujan turun lagi membasahi bumi? Agar hatiku yang dingin ini jadi bertambah dingin? Mengharap agar waktu bisa kembali? Kalaupun waktu bisa dibalikkan, lalu apa yang kuinginkan? Tidak membiarkannya pergi? Berharap tidak pernah mengenalnya? Tidak. Aku tidak pernah menyesal pernah mengenalnya. Tidak pernah menyesal pernah menjalin cerita yang indah dengannya. Tidak pernah menyesali apapun. Aku hanya tidak mengira semuanya akan berakhir seperti ini. Atau sebenarnya aku sudah menduganya, tapi aku malah sibuk membohongi diri sendiri bahwa: tidak, tidak akan berakhir seperti ini.

Kembali menyalakan batang rokokku entah yang keberapa. Menghisapnya dalam-dalam. Masih menerawang. Sesekali terngiang di telingaku suaranya di telpon.

"Kita terpisah terlalu jauh, sayang. Terlalu jauh dan terlalu lama."
"Dia memberikan semua yang tidak bisa lagi aku dapatkan dari kamu."
Semua? Apa? Perhatian? Kasih sayang? Cinta? Seks? Apa?
"Mungkin memang tidak seharusnya aku memintamu untuk menungguku. Itu tidak adil buatmu."
Tapi aku sudah menunggumu. Dua tahun aku menunggu. Menyimpan hatiku, menutup mataku, menulikan telingaku.
"Sudah setahun ini kami bersama."
Dan kamu baru sekarang kamu memutuskan untuk menghancurkan hatiku? Jadi setahun ini aku tak lebih dari sapi tolol yang membuang-buang waktu menunggu bintang yang tidak akan pernah jatuh?
"Penny, maafkan aku."

Seharusnya kata maaf tidak usah di ciptakan. Membuat orang berpikir mudah saja mengucapkan maaf, dan semuanya akan selesai. Tidak akan ada hati yang luka. Tidak akan ada rasa sakit yang menusuk, membuat napas menjadi sesak.

Aku menggelengkan kepala, berusaha mengusir semua suara-suara itu. Kuhisap lagi rokok yang dari tadi hanya terselip di antara jari tengah dan telunjuk tangan kiriku. Membuang asapnya ke udara yang dingin menusuk, padahal sekarang sudah jam satu siang. Mungkin karena mendung pekat itu. Tidak ada air mata yang mengalir. Tidak sekarang, kemarin, atau bahkan tiga hari yang lalu. Saat Bimo memutuskan untuk akhirnya mengakui semuanya. Mengakui mengapa dia tidak lagi menelponku. Tidak lagi bertanya tentang kabarku, kuliahku, atau hanya menuliskan kata kangen di e-mail pendek yang biasa dia kirimkan. Mungkin memang jauh di dalam hatiku—dan mungkin tidak terlalu jauh—aku sudah tahu bahwa akhirnya akan jadi seperti ini. Atau hanya karena aku sudah begitu capek menunggu. Atau mungkin juga air mataku sudah begitu kering. Entahlah. Aku tidak tahu apa yang kurasakan sekarang. Sedih? Sakit? Marah? Lega? Entahlah.

Tiba-tiba pintu kamar menjeblak terbuka. Tubuh mungil berkulit putih milik Misha, salah satu sahabatku. Tubuh kecilnya tampak sedikit kerepotan membawa beberapa tupperware besar yang entah berisi apa.

"Neek, udah deh. Berenti meratapi nasib lo. Mendingan lo makan deh. Nih gue bawain macaroni panggang ama garlic bread. Gue masak sendiri nih" katanya sambil meletakkan bawaannya di lantai.

Aku hanya menoleh sekilas, mematikan rokokku untuk kemudian menyalakan sebatang lagi. Aku memang sudah menceritakan tentang hal ini pada sahabatku yang selalu ceria ini semalam. Dan hari ini dia datang dengan tangan penuh dengan makanan. Misha memang paling tahu bahwa satu-satunya yang bisa membawa keceriaanku kembali adalah makanan.

"Sebenernya lo juga udah tau kalo bakal kaya gini kejadiannya kan, nek?" tanyanya masih sibuk membuka tutup tupperware dan menyendokkan makaroni panggang ke piring kecil yang di ambilnya dari rak piring kecil di atas meja, di sebelah aquarium besarku.
"Iya gue tau. Cuman pas bener-bener kejadian kaya gini, ga bisa dipungkiri, gue bete juga, bok" aku menggeser dudukku menghadap ke arahnya. Segera kumatikan rokokku dan menerima angsuran piring kecil dari Misha.
"Tapi bukan berarti lo harus terus-terusan meratapi nasib gitu kan? Keluar kek, jalan-jalan kek, clubbing kek, ngapain kek" jawab Misha masih sibuk menyendok makaroni panggang untuk dirinya sendiri.
"Yah, boleh dong gue meratapi diri. Ini kan baru tiga hari, Sha. Masih masa berkabung. Come on, Sha, have mercy" kataku dengan mulut penuh. "By the way, kemampuan memasak lo mulai meningkat nih. Buktinya gue ga sampe muntah-muntah kali ini" sambungku lagi memasukkan suapan kedua ke dalam mulutku.
"Sialan! Udah bagus gue bawain lo makanan" katanya sengit sambil melirikku sinis. "Besides, makanan tuh salah satu obat paling ampuh buat ngelupain lelaki. Mau tau satu lagi obat yang lebih ampuh buat ngelupain mantan laki lo yang brengsek itu?" lanjutnya lagi.
"Apaan?" masih dengan mulut penuh tak peduli bahwa mungkin beratku akan segera naik beberapa kilo setelah melahap makanan yang berkalori tinggi ini.
"Cowok!" jawabnya sama sekali tidak menjelaskan apapun.
"Hah?!" Aku mengernyit tidak mengerti apa maksudnya.
"Iyaaa... Cowok baru! Tuh, obat paling ampuh buat ngelupain mantan cowok."
"Please deh, Sha. Gue baru juga putus tiga hari. Masa gue udah nyari cowok lain sih? Nggak pantes, ah!"
"Hah?! Sejak kapan lo punya moral? Biasa juga belom putus lo udah pacaran lagi. Lagian, lo emang baru putus tiga hari, nek. Tapi kan, lo udah dianggurin selama setahun. Berarti itung-itung lo tuh udah menjomblo selama setahun."
"Yah, ini bedalah. Lo tau kan gimana setianya gue nungguin Bimo."
"Iya, lo setia, dianya main mata ama cewek Ukraina. Tolol deh! Lagian sekarang kan lo udah resmi putus. So, give your self a break."
"Hhhmmmhhh... nggak tau yah, Sha."
"Ayolah, gue ada temen cowok nih. Gue sms-in yah. Anaknya baik lho. Ganteng, mapan, lucu, seiman pula sama elo. Yah, cocok apa enggaknya ntar terserah lo berdua aja. Kalo belom mau serius, just a fling aja nggak papa kok. Yang penting lo bisa seneng-seneng, Hon. You deserve it!"
"Sapa sih? Jangan-jangan bekas lo lagi?"
"Nggak. Temen lama gue. Anaknya asik banget. Sama gilanya ama elo. Pasti cocok deh. Namanya Rey. Gue sms-in ya?"
"Ber-'monyet’ nggak?"
"Wah, nggak tau juga gue. Kayanya sih enggak."
"Iihh... lo tuh niat nggak sih nyomblanginnya?"
"Yah, ntar lo kan bisa nanya sendiri dia punya monyet apa enggak."
"Ih, males. Lo kan tau gue paling males nanyain 'eh, udah punya pacar blom?’ Kesannya gue desperate banget pengen jadi pacarnya. Males deh..."
"Udah deh! Nggak usah kebanyakan nanya. Ntar juga lo pasti tau sendiri."
"Mau jadi matchmaker kok data nggak lengkap!"
"Brisik!" Misha memelototiku sembari tangannya sibuk mencari-cari handphone di dalam tasnya, kemudian sibuk memencet-mencet keypad.
"Bok, jangan dikirim dulu! Gue baca dulu. Jangan sampe sms lo memberikan kesan kalo gue murahan banget!" kataku tegas sambil mengambil sesendok lagi makaroni panggang dan beberapa potong garlic bread. Ternyata makanan berlemak dan berkalori tinggi memang bisa membuat mood jadi lebih baik.

Sementara Misha sibuk dengan mengetik sms di handphone-nya, aku menggigit garlic breadku sambil memeriksa e-mailku yang sudah tiga hari ini sama sekali tidak kubuka. Kostku ini memang sedikit istimewa. Kamarnya memang tidak terlalu besar. Tapi cukup nyaman hingga membuatku betah. Terlebih lagi, ada koneksi internet yang bisa tersambung langsung ke komputerku. Terletak di lantai dua, di mana di lantai satu terdapat warnet yang dibuka sebagai usaha sampingan oleh pemilik kos ini. Hanya dengan menambah Rp.150.000 per bulan saja, aku sudah mendapat koneksi internet pribadi 24 jam sehari. Dan yang paling aku sukai dari kamar ini adalah jendela besar yang menghadap ke halaman sebuah hotel berbintang lima di bagian atas jalan Dago. Aku bisa tahan berjam-jam hanya duduk sambil memandang ke luar jendela. Melihat mobil-mobil yang keluar-masuk halaman hotel itu sambil menikmati angin dingin yang berhembus masuk melalui jendela.

"Udah nih. Lo baca dulu deh" Misha membuyarkan lamunanku.
"Bentar."

Sebelum membaca sms Misha, aku menumpahkan sisa-sisa remah garlic bread ke dalam aquarium. Biasanya Iwak--bahasa jawa dari ikan--, nama ikan lohan kesayanganku, sangat menyukai remah-remah roti. Dan benar saja, belum sampai ke dasar, remah-remah itu sudah ludes dilahapnya.

To: 081185XXXX
Hai, Rey. Pakabar? Eh, ada temen gw mo kenalan nih. Gimana? Gw kasih no hpnya ke elo yah. Anaknya asik kok. Baru putus cinta nih.


"Anjis, Sha! Kok jadi gue yang pengen kenalan sih? Bukannya elo yang maksa-maksa gue buat kenalan ama dia?" Aku memprotes isi sms Misha yang bukan saja membuat aku tampak murahan, tapi juga menyedihkan.
"Ya udah, gue ganti. Bawel deh!"
"Bikin gue terlihat bagus dong. Perempuan desperate itu gak ada menarik-menariknya di mata cowok."
"Iya deh, tau, yang lebih pengalaman. Nih, baca!"

To: 081185XXXX
Hai Rey, Pakabar? Seeing anyone right now? Gw kenalin ama temen gw yah. Anaknya baik, asik, gila, seru. Lumayan kan buat nambah2 temen baru? Gimana?


"Gimana?" Misha mengambil sebatang rokokku dan menyalakannya.
"Yah, lumayanlah. Walopun gue nggak pernah bisa menyukai ide 'dikenalin’ ke temennya temen. Tapi seenggaknya pertanyaan kita bisa terjawab. Udah bermonyet belom nih lelaki" jawabku. Aku memang tidak pernah mengenal konsep perkenalan seperti ini. Biasanya aku langsung berkenalan sendiri. Entahlah, dikenalkan oleh teman terdengar seperti sedang dijodohkan untukku. Dan konsep dijodohkan terdengar sangat tolol di telingaku.
"Ya udah, gue send yah?" tanya Misha sambil merebut handphone-nya kembali dari tanganku.
Aku hanya mengangguk, kemudian menyalakan sebatang rokok lagi. Sambil menikmati asap yang memenuhi paru-paruku, aku memperhatikan Misha yang sedang menekan tombol 'send’ di handphone-nya.
"Nggak tau yah, bok. Tapi ternyata gue nggak sesedih dan sesakit yang gue kira" ujarku masih menatap kosong ke arah handphone di tangannya.
"Yah, gue rasa sih, mungkin karena lo sendiri emang udah menduga kalo kejadiannya bakalan kaya gini. Plus, kayanya lo sendiri juga udah kehilangan kemampuan lo untuk menangisi putus cinta sejak pacar pertama lo si... sapa?"
"Joe."
"Iya. Sejak dia, lo ga pernah bisa nangis lagi kan kalo putus pacaran? Yah paling juga bete-bete dua-tiga hari, terus udah ketawa-ketawa lagi. Santai lagi."
"Tapi gue pikir kali ini beda, Sha. Lo tau kan gimana setianya gue ama Bimo. Gimana sayangnya gue ama dia. Tapi anehnya kenapa gue nggak ngerasa sesakit yang gue bayangin? Dulu gue pernah mikir kalo gue bakalan ga bisa idup kalo sampe putus ama Bimo. Lo tau kan gimana tergantungnya gue ama Bimo?"
"Ya. Tapi ternyata lo bisa idup kan tanpa Bimo? Buktinya lo fine-fine aja di tinggal Bimo kerja ke luar negri."
"Iya. Aneh..."
"Apaan yang aneh?"
"Ya itu, gue nggak ngerasa sesedih dan sesakit yang gue duga. Gue cuman ngerasa kesel. Marah mungkin. Marah karena dia biarin gue ngegantung, nungguin dia selama setaun for nothing! Marah karena dia udah buang-buang waktu gue selama setaun ini. Mestinya kan udah banyak yang bisa gue lakuin selama setaun itu. Bisa berapa lelaki yang gue pacarin coba dalam setaun? Marah, Sha! Bukan patah hati" aku menjawab berapi-api. Mematikan puntung rokokku yang segera kulanjutkan dengan menyalakan batang rokok yang berikutnya. Misha hanya diam menunggu aku menumpahkan semua kekesalanku. Sambil menghembuskan asap rokok ke udara yang semakin dingin karena di luar terlihat gerimis kembali turun, aku melanjutkan.
"Gue sama sekali nggak ngerasa dikhianati. Nggak ngerasa sakitnya ternyata Bimo ada pere lain di luar sana. Bukan itu. Gue cuman kesel kenapa dia nggak bilang aja dari awal kalo dia udah ada orang lain. Jadi kita bisa langsung work it out. Maunya gimana. Status gue bisa jelas. Nggak terkatung-katung kaya sapi bego selama setaun gini."
"Mungkin dia nggak brani buat ngomong langsung ama elo. Ngaku kalo dia udah ada cewek di sana."
"Lho ya nggak bisa gitu dong, bok. Sebelom dia berangkat, kita tuh udah sepakat. Kalo salah satu dari kita ada yang capek dan nggak tahan dengan hubungan jarak jauh kaya gini, atau salah satu dari kita udah nemu orang lain, kita harus saling jujur dan terbuka. Ngomong! Biar kita berdua nggak buang-buang waktu percuma."
"Nah, makanya dia takut buat ngomong ama elo. Karena dia pasti mikir dong, elo aja belum nemu cowok lain kok. Berarti lo masih setia dong nungguin dia? Masa dia duluan yang harus ngaku ke elo, kalo dia udah ada 'mainan' baru" Misha menggesturkan tanda petik menggunakan kedua tangannya. "Ego-nya dia. Dia nggak mau dianggap sebagai yang nggak setia."
"Yah, egonya dia ngebuang waktu gue. Dan itu ngebuat dia jadi bukan cuman seorang yang egois, tapi juga pengecut. Setan!"
Misha tertawa terbahak-bahak. "Ternyata lebih asik dengerin orang putus cinta yang marah-marah kaya lo gini yah, bok. Daripada dengerin orang yang patah hatinya nangis-nangis darah."

Beep... Beep...
Suara handphone Misha menandakan ada sms masuk.

From : 081185XXXX
Hai, gw baek. Lo pa kabar? Wah boleh tuh. Temen lo sapa?


"Ih... Nggak menjawab gitu udah ber-’monyet’ atau belom" aku bersungut-sungut.
"Mau di jawab apa nih, Nek?" tanya Misha sambil mengangsurkan handphonenya ke arahku.
"Lhah? Ya elo dong jawab. Kan elo yang mo ngenalin."
"Ntar gue jawab, salah lagi."
"Yah, ntar jangan lo kirim dulu, ntar gue edit dulu. Biar gue terdengar sophisticated gitu. Hahahahaha..."
"Sophisticated cap e’ek kucing!"
"Hahahahahahaha....."

To : 081185XXXX
Gw bae jg. Temen gw, namanya Penny. Gw ksih no hpnya ya. Biar lo bs langsung ngobs aja ma dia. 0815 185 XXXX.


"Sip! Kirim!" aku menyatakan persetujuanku setelah membaca isi sms itu.
"Ya udah tungguin aja. Biasanya sih dia modal. Kalo ga langsung telpon elo, yah paling nggak sms deh. Model lelaki well mannered lah dia mah" jawab Misha sambil mulai membereskan sisa-sisa makanan.

Beep... Beep...
Handphoneku.

To : 0815185XXXX
Hai Penny. Gw Rey. Gw dpt no hp lo dari Misha. Boleh kan kenalan? Kata Misha lo anaknya baik, asik, gila, seru. Gw mo buktiin sndiri. :-)


"Tuh kan, gue bilang juga dia well mannered. Liat smsnya! Seolah-olah dia yang mo kenalan ama elo. Memberi ruang bagi ego kewanitaan lo" ujar Misha membanggakan barang dagangannya.
"Sstttt....! Gue bales apa?"
"Lhah? Ya terserah lo mo bales apa!"
"Ssssttt!!!!" aku mengibaskan tangan ke arah Misha seolah sedang mengusir lalat yang sedang terbang.
"Gila!"

To : 081185XXXX
Hai Rey. Iya ini Misha jg lg di tempat gw kok. Lagi asik memamah biak nih. Ada makaroni panggang ama garlic bread. Mau?


"Bok, jangan menampakkan kalo lo hobi memamah biak dong ah! Kan malu-maluin"
"Bodo! Kalo cowok mau ama gue, dia juga harus menerima kenyataan bahwa gue hobi makan!"
"You go, girl!!"

To : 0815185XXXX
Wah mau banget doong. Tapi lo tinggal di mana sih? Jkt ato Bdg? Kalo Misha kan nomaden tuh. Kadang bdg kadang jkt.


"Kok gue jadi merasa semacam gelandangan yah, bok?"
"Yah, seenggaknya lo gelandangan antar kota, Sha. Better-lah... Sedikit lebih bermodal."

To : 081185XXXX
Gw di bdg. Lo? Jkt yah? Jauh aja. Tapi boleh sih kalo mau makaroni panggangnya. Yah, lo mesti usaha dikit sih. cuman 3 jam by car kok. :p


Dua menit berlalu.
Tiga menit...
Lima...
Sepuluh...
Aku masih menatap ke arah handphone yang tidak kunjung berbunyi, sementara Misha sudah dengan asiknya menggunakan komputerku dan menjelajah dunia maya. Aku meliriknya sebentar, ternyata Misha sedang tertawa-tawa kecil sambil chatting dengan temannya di messenger, sementara rokok yang dibakarnya dibiarkan saja di atas asbak tanpa dihisap sama sekali.
"Bok, kok ga bales-bales sih?" tanyaku gusar.
"Kali aja dia lagi dalam perjalanan ke sini" jawab Misha santai, seolah melakukan perjalanan mendadak dari Jakarta ke Bandung bukanlah masalah besar.
"Hah?!?" aku hanya bisa melongo.
"Makanya jangan nawarin apa-apa ke Rey, kalo lo ga siap kejutannya. Dia tuh emang gitu. Bisa tiba-tiba berangkat ke mana aja dia mau."
"Hah?!? Sumpeh Lo?!?"
Tiba-tiba suara ring-tone handphoneku terdengar nyaring mengagetkan kami berdua.

081185XXXX
calling


"Nek, hari gini masih make hape butut dengan bunyi tulilulit gitu sih? Ganti napa yang pollyphonic?"
"Rey nih!"
"Ya angkatlah!"
"Ngomong apa?"
"Gila!"

Kuangkat handphoneku dan langsung terdengar suara berat, renyah, sedikit sengau di ujung sana.
"Halo?"
"Halo..." jawabku.
"Penny ya?"
"Iya. Rey ya?"
"Iya."
Kami tertawa canggung bersama. Mungkin sama-sama bingung mau bicara apa. Apa yang harus dibicarakan oleh dua orang yang baru kenal lewat telpon?
"Sorry ya bales sms-nya lama. Lagi di kantor. Rada ribet ama kerjaan."
"Hehehe... nggak papa kok. Gue malah yang sorry ngeganggu orang lagi kerja."
"Basaaa.... Basiiii... Busuuuukkk...." suara Misha menyahut usil di belakangku.
"Misha ya?" tanya Rey.
"Iya tuh. Kaya nggak ada kerjaan aja nguping orang telpon."
"Hahaha..."
"Sekarang lagi dimana, Rey?"
"Masih di kantor sih. Cuman kerjaan udah nggak seribet tadi aja. Jadi sempet nelpon."
"Oh, emang kerja di mana?"
"Di daerah Mega Kuningan. Tau?"
"Ya tau lah."
"Elo? Kerja? Kuliah?"
"Kuliah gue. Kerja juga sih. Nyambi gitu deh. Soalnya kalo kuliah doang, bisa-bisa mati bosen gue."
"Hehehe... masa-masa kuliah itu kan masa yang indah?"
"Hah?! Nggak ada indah-indahnya deh. Kita bayar cuman buat disiksa ama tugas-tugas dosen. Yang indah tuh masa SMA. Maeeenn mulu kerjaannya."
"Yah, gue pas kuliah juga kerjaannya maen mulu sih. Makanya berasanya indah-indah aja. Hehehehehe...."
"Emang nyambi kerja di mana, La?" sambungnya lagi.
"Oh, di radio."
"Wah, penyiar dong?"
"Ha? Enggaklah... Hebat banget bisa jadi penyiar. Suara gue kaya kaleng rombeng diseret-seret gini."
"Lho, suara lo kan serak-serak gitu. Biasanya penyiar kan suaranya serak gitu?"
"Hehehe... Tetep aja tidak berkualifikasi sebagai penyiar."
"Jadi sebagai apa dong?"
"Produser aja. Lebih seru. Bisa nyuruh-nyuruh penyiar. Hahahaha..."
"Post power syndrome yah?"
"Hehehehe... iya mungkin."
"Hehehehe... Ya udah deh, Penny. Pokoknya kita udah kenalan dengan cara yang agak lebih beradab daripada cuman sekedar sms. Gue kudu balik ke kerjaan nih."
"Oh, ok deh. Met kerja yah."
"Makasih. Ntar kapan-kapan gue telpon lagi boleh kan, Penny?"
"Boleh kok."
"Eh, by the way, ada YM nggak?"
"Ada. Add aja."
"Ok, bentar lagi gue add."
"Ya udah. Kalo gitu bentar lagi gue accept."
"Lho, emang di situ ada internet?"
"Ada dong. Kan kos-kosan super."
"Wah, enak juga yah."
"Ya, gitu deh..."
"Ya udah deh. Gue cabs dulu yah. Nice to know you, Penny."
"You too, Rey. Bye"
Dan telponpun ditutup. Aku menoleh ke arah Misha yang ternyata sedang memperhatikanku sambil tersenyum-senyum.

"Kenapa sih ketawa-ketawa sendiri, bok?" tanyaku.
"And the story goes..." jawab Misha masih tersenyum-senyum janggal.
"Hhmmm... nggak tau deh, Sha"
"Nggak tau apa?"
"Belum click kali. Atau chemistry-nya nggak dapet."
"Ya iyalah. Kan belom ketemu. Gimana sih lo? Ntar kalo dah ketemu, baru deh you can tell."
"Iya kali yah. Cuman kan lo tau, kadang-kadang gue bisa langsung ngerasa click ama cowok walaupun cuman lewat telpon. Apa gara-gara suaranya sengau kali yah? Jadi agak kurang membuat gue ber’desir’?" aku menggesturkan tanda kutib dengan dua tanganku.
"Bok, biasanya yang suaranya jelek tu justru orangnya ganteng. Dan Rey sih emang ganteng. Yah, nggak ganteng sih. Manis gitu deh. Enak diliat."
"Yah, ganteng buat lo blom tentu ganteng buat gue. Dan ngeliat Reno, pacar tercinta lo itu, gue jadi meragukan selera lo akan ganteng tidaknya seorang lelaki."
"Jadi maksud lo Reno nggak ganteng?" Misha melotot protes ke arahku.
"Nggak!" Jawabku dengan tampak tak berdosa.
"Hehehe... iya juga sih." Misha tertawa pahit mengakui kenyataan. "Ya udah, liat aja gimana kelanjutannya elo ama Rey ini ntar. Sapa tau pas udah ketemu lo bisa click" lanjutnya lagi.
"Yah, kita liat aja."

(This is how it starts)
***to be continued***

Tuesday, March 11, 2008

"Can I get you anything else, Penny?" tanya Shawn, Managerku. Manager kami.
"Nope, Shawn. Just make sure the boys will play good tonite," jawabku sambil meletakkan tasku di lantai. "Oh, err, can I get some water, please? Yang dingin?" lanjutku sambil menahan tangan Shawn yang sudah hampir melangkah keluar dari pintu Lady's room ini.
Shawn tersenyum sabar, seperti biasa. Lalu mengangguk. "Sure, Babe. Anything. Tunggu sebentar ya," jawabnya sebelum menutup pintu.

Aku membuka Tasku, mengeluarkan kostumku malam ini, lalu menggantungkannya sembarangan di atas pintu toilet yang terbuka. Lalu aku mengambil tas make upku. Meletakkannya di atas marmer bak cuci tangan. Mendongak memeriksa lampu di atas cermin. Sepertinya cukup terang. Penerangan yang baik adalah kunci sebuah masterpiece make up. Dan lampu di toilet ini cukup terang. Be thankful for that, Penny, kataku dalam hati. Aku mulai mengeluarkan peralatan make up-ku. Memoleskan alas bedak, membubuhkan sedikit shading blush on berwarna coklat tua tepat di bawah tulang pipiku, kemudian menyamarkannya kembali dengan bedak padat. Memoleskan eye shadow warna coklat tua dan hitam di kelopak mataku. Smooky eyes. Dandanan inilah yang kupilih untuk tampilanku malam ini. Sedikit lipstick "Dessert Sand" Number 22 di bibirku. Maskara untuk melentikkan bulu mata, dan eye liner coklat untuk menegaskan garis mataku. Aku memandang ke arah cermin dan puas dengan dandananku. Kemudian aku berpaling ke terusan merah-darahku yang tergantung manis. Bahan sintetisnya akan menempel ketat di tubuhku. Segera aku menanggalkan tshirt dan jeansku untuk kemudian mengenakan gaun itu. Kemudian aku mengenakan boot hitam setinggi betisku. Dengan sentuhan akhir berupa crop cardigan berwarna hitam yang akan menyamarkan lenganku yang mungkin bahkan lebih besar dari tales bogor. Kembali aku mematutkan diri di cermin. Manis. Misterius.

"Babe, here's yer water," suara Shawn dari luar sambil mengetuk pintu.
Aku membuka pintu dan menerima gelas berisi air dingin itu.
"Thank God, Shawn. Lo ga tau betapa panasnya kamar mandi sialan ini. Kenapa mereka nggak pernah kepikiran untuk masang AC di kamar mandi sih?" kataku sedikit bersungut-sungut.
Shawn tertawa kecil. Ia selalu tahu kalau aku bersungut-sungut, aku hanya setengah bersungguh-sungguh mengucapkannya.
"I'll find something better later, babe. It's a promise," katanya lagi tersenyum manis.
"Naah... nevermind it, Shawn. I was just babbling. It's good enough, kok. At least cukup untuk bayar kosan gue dan beli rokok," sahutku menenangkannya.

Itulah Shawn. Seorang manager yang paling perduli. Ia selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi kami. Sebenarnya kami tidak bisa menyebut kelompok kami sebagai band. Karena memang tidak ada musik lengkap yang kami mainkan. Kami hanya terdiri dari tiga orang. Aku, sebagai vokalis, Shred dan Edo memainkan guitar akustik sekaligus sebagai backing vocals. Kami biasa main di lounge-lounge atau cafe-cafe yang tidak terlalu ramai. Kami ada untuk menghibur orang-orang yang tidak ingin suara hingar-bingar musik diskotik. Sama seperti malam ini. Jumat malam, kami selalu tampil di Insomnia Lounge. Tempat para pekerja kantor melepas lelah dan menghindari macet dengan menikmati Irish Coffee yang terkenal itu. Dan Lounge ini biasanya akan jadi sangat ramai di hari jumat. Mungkin memang banyak pekerja kantoran yang jadi stress setelah seminggu penuh otak mereka di cekoki oleh urusan pekerjaan. Dan sebagai band kecil yang tidak terlalu terkenal, kami hanya memiliki toilet sebagai ruang ganti. Tapi itu cukup. Kami tidak perlu lebih. Dan Shawn, Shawn adalah keajaiban yang selalu berhasil mendapatkan pekerjaan buat kami, sehingga kami tidak perlu terlalu pusing memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan hidup kami. Karena hidup ini tak pernah kenal kata gratis. Aku tersenyum.

"Penny?" Shaw kembali mengetuk pintu.
"Yeap!"
"Are you ready?" Shawn melongokkan kepala dari pintu. "Five more minutes, babe," lanjutnya mengingatkan.
"OK, I'll be right with you, Shawn."

-oOo-


Hold me closer tiny dancer
Count the headlights on the highway
Lay me down in sheets of linen
you had a busy day today


Aku menutup dengan chorus terakhir lagu Tiny Dancer dari Elthon John. Seiringnya, Shred dan Edo pun memainkan outro. Lampu panggung kemudian mulai diredupkan. Aku melihat ke arah penonton. Insomnia begitu penuh malam ini. Aku hampir tak bisa melihat wajah-wajah mereka. Ada sekelompok orang--5 atau 6 orang--, yang sedang menyantap makan malam mereka sambil tertawa-tawa. Mungkin merayakan sesuatu. Bebarapa pasangan yang terlihat mesra, berpegangan tangan sambil menikmati cangkir kopi mereka. Beberapa kelompok lelaki yang menikmati hembusan asap dari batang rokok mereka beserta beberapa pitcher beer. Hanya sedikit dari mereka yang benar-benar memperhatikan kami. Bahkan hampir tak ada. Tapi untuk itulah kami ada di sini. Sebagai pengisi suara latar dengan musik kami.

Outro dari dentingan gitar Shred mulai menghilang. Shawn tergopoh-gopoh membawa kursi ke arahku. Tersenyum berterima kasih, aku duduk di kursi itu. Memeriksa tumpukan kertas request yang ada di depanku.

"Ok, that was Tiny Dancer from Elthon John. And now, i have a bunch or requests here," kataku mulai membaca. "Dari meja 20, from Edna to Dion, I will always--and I mean Always--, love you, but please, please don't forget to put the toilet seat down next time. Minta lagunya Whitney Houston yang Sound Tracknya Body Guard itu. Hahaha," aku tertawa kecil. "We'll play it for you later, Edna," aku mendongak untuk tersenyum kepada Edna di meja 20. Dan saat itulah pandanganku terhenti pada seorang lelaki di barisan depan. Lelaki itu bersama 2 atau 3 temannya sedang duduk di sana, memegang gelas birnya, tanpa sebatang rokokpun di tangannya--karena seingatku, ia memang bukan seorang perokok--, memandang tajam ke arahku. Entah sejak kapan ia berada di sana. Ah, seseorang dari masa lalu. Seorang yang pernah kucintai.

Kami saling berpandangan dalam waktu beberapa detik. Tidak ada seorangpun yang tersenyum. Tidak dia, tidak pula aku. Tatapannya masih sama seperti dulu. Tajam. Tanpa senyum di wajahnya membuatku teringat betapa aku selalu menyebutnya Si-Ganteng-Muka-Tampolan. Lalu aku berdiri dan menghampiri Shred, dan membisikkan sesuatu di telinganya. Kemudian kembali ke kursiku, duduk dan melepaskan mic dari stand-nya.

"This song's called, I Can't Make You Love Me from George Michael. One of my favorite sad songs. If this song really spoke to me, I hope it'll speak to you as well," kataku langsung di sambung oleh intro dari gitar Edo.

Turn down the light
turn down the bed
turn down these voices inside my head
lay down with me
tell me no lies
just hold me close
don´t patronise
don´t patronise me


Aku kembali memandang ke arah lelaki itu sambil menyanyikan bait demi bait lagu ini. Pandangannya serasa menghisapku dalam-dalam. Menghisapku ke waktu yang telah lalu. Waktu ketika kami masih bersama. Waktu terindah dalam hidupku. Waktu ketika lelaki itu memenuhi seluruh rongga dalam diriku. Seluruh partikel dalam tubuhku. Setiap nanometer dari kulitku. Waktu ketika satu sentuhannya merupakan seluruh dunia bagiku.

´Cause I can´t make you love me if you don´t
you can´t make your heart feel something that it won´t
here in the dark in these final hours
I will lay down my heart
and I feel the power
but you won´t
but you won´t


Aku memejamkan mata. Mencoba menghindari pendangannya yang membawaku ke dunia yang lain. Mencegah air mata keluar dari pelupuk mataku. Mengingat betapa aku mencintainya. Mencintai seseorang yang tidak berbalas. Apa yang lebih menyakitkan daripada itu? Mengingat bagaimana aku mencoba untuk mendapatkan cintanya. Mencoba untuk meyakinkannya bahwa aku layak. Layak untuk dicintai. Tapi mungkin cinta memang bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Atau diyakinkan. Dan aku kembali membuka mataku. Memandangnya lekat. Menikmati kerinduan yang aku tidak tahu ada tapi ternyata selalu kurasakan. Rasa yang kupikir sudah kulupakan.

I´ll close my eyes then I won´t see
the love you don´t feel when you´re holding me
mornin´wil come and I´ll do what´s right
just give me till then to give up this fight
and I will give up this fight
´Cause I can´t make you love me if you don´t


Lelaki itu meneguk beernya, kemudian meletakkan gelasnya di meja, seiring ketika aku menyanyikan bait kedua lagu ini. Masih menatapku tajam, ia meletakkan kedua sikunya di atas lutut, dan menumpukan dagu di atas kepalan tangannya. Matanya masih sama seperti dulu. Dan bagaimana otakku selalu tidak mampu bekerja dengan sempurna, bila sudah menatapku seperti itu. Maka aku kembali menutup mataku. Dan aku dibawa kembali ke kamar kosku beberapa tahun yang lalu. Kamar yang masih gelap tanpa lampu. Dan sinar mataharipun seperti enggan menyusup masuk dari sela-sela tirai jendela. Hanya ada sedikit sinar lemah dari balik pintu kamar mandi. Aku dan lelaki itu, berbaring sebelah-menyebelah. Nafasnya teratur menandakan ia masih tertidur lelap. Tangan kananku berada di perutnya. Entahlah... Ini seperti candu. Aku selalu meletakkan tanganku di atas perutnya sebelum tidur. Dan ya, itu membuatku tenang. Tenang dan nyaman. Membuatku lebih cepat tertidur. Aku mengusapnya pelan, takut mengusik tidurnya. Tapi lelaki itu selalu tidur seperti seorang bayi. Nyenyak, tanpa banyak bergerak. Lagu yang sama dengan yang kunyanyikan sekarang, mengalun pelan dari speakerku.

Tiba-tiba lelaki itu bergerak sedikit, membuatku menghentikan usapan di perutnya. Perlahan matanya terbuka, melihat ke arahku dan tersenyum. Tanpa berkata apa-apa, ia meraih tubuhku mendekat ke arahnya. Kemudian ia memelukku. Mendekapku erat. Posisiku sangat tidak enak waktu itu. Tapi aku toh akan memberikan apa saja agar ia mau mendekapku dengan cara seperti itu. Maka aku hanya diam. Bergerak sedikit hanya agar aku tetap bisa meletakkan tanganku di perutnya. Tapi dengan posisi seperti ini, tidak mungkin. Maka aku mengalihkan tanganku ke punggungnya, kembali mengusapnya pelan. Ah, seandainya waktu bisa dihentikan.

Menghirup bau nafasnya, parfumnya yang samar-samar masih memancar, aku berpikir, bagaimana orang yang tidak mencintaiku ini, bisa memelukku sedemikian erat? Dan mengapa? Mengapa ia tidak mencintaiku? Mengapa aku mencintainya? Mengapa?

´Cause I can´t make you love me if you don´t
you can´t make your heart feel something that it won´t
here in the dark in these final hours
I will lay down my heart
and I feel the power
but you won´t, no you won´t
´cause I can´t make you love me if you don´t


Aku kembali membuka mataku, menemukan lelaki itu masih di sana. Memandangku. Mungkin bermain-main dengan pikirannya sendiri. Mungkin memang aku tak akan bisa membuatnya mencintaiku. Aku tak bisa membuat ia merasakan sesuatu yang tak dirasakannya. Dan hal itulah yang akhirnya membuatku sadar bahwa aku hanya harus mencintainya. Mencintainya tanpa mengharap balasan. Mencintainya tanpa syarat. Membuatnya bahagia tanpa meminta apapun. Karena kebahagiaannya adalah kebahagiaanku. Cliche, but true.

Ain't no use in you trying
It's no good for me baby without love
All my tears, all these years, everything I believed in
Baby
Oh yeah
Someone's gonna love me


Tapi ternyata aku hanyalah manusia biasa. Aku terus mengharap. Berharap ia merasakan apa yang aku rasakan. Mengharap ia menjadi milikku. Dan semua pikiran itu mulai menguasaiku. Menyakitiku. Dan akhirnya membuatku ingin berlari. Berlari kemana saja. Karena dekat dengannya terasa begitu menyakitkan. Berada bersamanya tidak lagi membuatku merasa bahagia. Dipeluk sekaligus tahu bahwa tidak dicintai. Mungkin memang lebih baik aku sendiri. Tidak akan ada yang menyakitiku. Aku tak akan membiarkan siapapun berada terlalu dekat denganku untuk bisa menyakitiku.

´Cause I can´t make you love me if you don´t

Aku menyelesaikan lagu ini, masih menahan agar tidak menangis. Dan lelaki itu, masih ada di sana. Masih tanpa senyum dan tanpa melepas pandangannya dariku.

"That was the last song from us for this session. We'll be right back with you in an hour. Thank you and have a pleasant evening," kataku menutup sesi pertama kami.

Tanpa melihat ke arah lelaki itu, aku segera turun dari panggung menuju ke meja yang sudah dipersiapkan untuk kami di bagian sebelah kanan panggung. Meminum aqua dingin yang sudah dipersiapkan Shawn untukku. Tanpa memperhatikan sekelilingku, aku menyulut rokokku. Menikmati hisapan pertamanya. Aku duduk menghadap tembok. Menolak memandang ke siapapun yang ada di belakangku. Terutama lelaki itu. Aku tidak ingin lagi dibawa ke masa lalu. Apa yang sudah kutinggalkan, biarlah tetap ada di belakang.

Tak lama Shred dan Edopun bergabung denganku. Kami berbicara mengenai song list yang akan kami bawakan pada sesi berikutnya. Mereka meneguk beer mereka masing-masing. Sementara aku tetap menikmati rokok dan aqua-ku sambil menahan agar leherku tidak menoleh ke belakang dan mencari sosok yang sudah sangat kukenal itu.

Saat itulah aku merasakan ada tangan yang diletakkan di punggungku. Belum sempat aku menoleh, segelas chocolate martini di letakkan di meja, tepat di sebelah tangan kiriku.

"Penny...," suara itu, suara yang sangat kukenal. Suara yang sempat mengisi setiap hariku. Suara yang bahkan masih terekam di handphoneku.
Aku menoleh ke sebelah kiri, tepat di tempat lelaki itu sudah berdiri, masih memegang punggungku. Bahkan mengusapnya sedikit.
"Rey," sahutku tanpa benar-benar mengerti harus mengatakan apa.
Lelaki itu tersenyum. "Ini minuman kesukaan kamu," katanya kemudian.
"Makasih," aku membalas senyumnya.
"Apa kabar?" tanyanya bersamaan dengan aku bertanya, "what are you doing here?"
Kami tertawa kecil bersama.
"Baik," jawabku singkat.
"Aku lagi ada kerjaan aja di sini. Barusan kelar, jadi temen-temen ngajakin aku buat hang out dulu di sini," sahutnya kemudian.
Kami terdiam. Aku menyesap chocolate martini yang diberikan padaku setelah sebelumnya mengangkat gelas ke arah Rey sebagai tanda ucapan terima kasih.
"Can I talk with you for a minute, please?" tanyanya kemudian sambil menyentuh tanganku.
Entahlah, tiba-tiba rasa sakit itu kembali menderaku. Sakit sekaligus rindu. Rasanya aku ingin memeluknya erat dan tak melepasnya lagi. Tapi aku tahu bahwa aku tak akan memilikinya. Sama seperti aku tak bisa memilikinya dulu.
"Makasih minumannya, Rey. Maaf, aku harus nyusun song list untuk sesi kedua," sahutku menolak berbicara dengannya. Aku tidak mau lagi memulai sesuatu yang tak bisa kuselesaikan.
"Oh, ok. I'll wait then. Aku tungguin sampai kamu selesai nyanyi?" tanyanya tanpa mengerti maksudku.
"No, Rey. Aku nggak tau apa yang mau kamu omongin. Tapi, sudahlah, biar yang sudah berlalu tetap tinggal di belakang."
"Tapi...," jawab Rey terhenti.

Aku meraih tangan kanannya, melihat kuku jari kelingkingnya, yang dulu selalu kububuhi kuteks bening. kini tanpa kuteks. Tersenyum dan menggenggamnya sebentar. Aku tak bisa membendung air mata yang sudah kutahan dari tadi. Lalu aku mendongak menatap langsung ke matanya. Aku menarik nafas panjang dan tersenyum. Rey hanya menatapku. Kemudian perlahan tangan kirinya terangkat, menghapus air mata yang meleleh di pipiku. Mengusapnya sebentar lalu tersenyum dan mengangguk. Meraih kepalaku, mendekapnya di dada sebentar, dan mencium ujung kepalaku. Kemudian ia beranjak pergi. Sementara aku terus mengikutinya dengan pandanganku. Melihatnya membereskan barang-barangnya di meja, meninggalkan beberapa lembar uang pada teman-temannya, kemudian pergi keluar dari lounge ini. Pergi dariku. Sama seperti yang pernah kulakukan padanya dulu.

Aku melihat punggungnya bergerak semakin jauh dan menghilang di balik pintu.
Hhhh... Aku menghela nafas panjang.
Why doesn't he love me?
Mungkin aku memang tak pernah layak untuk dicintainya...


(Sebuah catatan dari duniaku yang lain. Kalau kamu merasa pernah membacanya, berarti kamupun telah ikut berkelana di duniaku yang lain itu.)

Wednesday, February 27, 2008

These are my 7 Craps. 7 things that i approve. Lemparan dari Bubba.
(Janji gue yah, Bub...)

1. Homeless animal shelter.
Suka nggak tega aja ngeliat kucing atau anjing liar di jalanan. Apalagi kalau ada yang luka karena kecelakaan, atau yang lebih parah lagi, digebuk orang.
Binatang2 itu seharusnya disayangin. Binatang2 itu seharusnya jadi teman kita. Bukan jadi sandsak tinju atau pengasah parang.

2. Hukum gantung untuk cowo yang matanya suka belanja padahal dia lagi jalan sama kita.
Ya ya, hukum "orang-punya-mata-ya-gunanya-untuk-melihat-keindahan" tidak berlaku di sini. Sebenernya para cowok ini tau nggak sih kalau dengan dia ngelirik cewe laen, akan membuat cewe itu berpikir, "dih ni cowo... udah ada cewenya, masih juga ngelirik2 gue. Kesian deh tu cewe" (nada sinis penuh kemenangan, perhatikan!). Berapa banyak dari kalian para cewe yang berpikir gitu kalo ada cowo dengan monyet di sebelahnya nglirik ke kamu? Well, saya termasuk. Hehehehe... Perempuan itu mahluk yang super kompetitif. Dengan dilirik oleh pacar cewe lain, makan dia akan merasa menang dari si cewe lain tersebut. Merasa lebih cantik, lebih menarik dan lebih hebat. Dan itu akhirnya memberikan kesan bahwa si cewe ini nggak bisa jagain cowonyalah, nggak bisa muasin cowonyalah dan nggak berarti sama sekali di mata cowonya. Lha buktinya cowonya aja masih lirak lirik cewe lain kok! Kalo puas sama cewenya, ga akan lirak lirik blanja blanji dwong? Jadi para cowo kalo MAU menjaga perasaan cewenya dan menghargainya, tolong berhati2lah melirik. Bisa menimbulkan perasaan insecure tauk! Membuat kita (kita? SAYA!) ngerasa jadi seorang failure. Yah failure yang gagal menyenangkan dan memuaskan lelaki yang dicintainya (nya? ku!). Mengertilah, lirikan, kerlingan dan flirtingan kalian, yang menurut kalian cuman buat "FUN" dan nggak berarti apa2 itu, menghancurkan hati kami! *bok, ini curhat colongan lagi kah? Bodo! Blog2 gue ini... :))*



3. Buku-buku murah (gratis lebih baik!).

Biar rakyat negara ini tu nggak bodo2 amat. Nggak semua orang MAU (bukan BISA ya) sekolah. Ada yang males, ada yang lebih mentingin nyari duit, walopun nyari duitnya tu cuman ngamen doang. Saya termasuk salah satu dari mereka. Lebih mending ngamen daripada sekolah lagi. Kecuali kalo ada yang ngasih beasiswa ke London gitu. Tapi dengan buku gratis, orang bisa baca dimana aja. Sambil nunggu lampu ijo berubah ke merah, sambil nungguin orang baru duduk di warung makan, sambil neduh saat hujan, orang bisa baca buku. Baca buku, apa aja, komik kek, novel kek, buku pelajaran kek, self help, apa aja, pasti bisa bikin pinter. At least, wawasan bisa sedikit lebih luas.

4. FRIENDS Bonus Reunion Season.
I just crazy about them that much!

5. MRT/Skytrain/Tube, You name it!
Tapi tentunya yang ga make macet2an juga (betapa tololnya ide busway!), tempat duduk nyaman. AC bener. Tanpa ada jejak2 anarkis. Pokoknya rapih deh. Tapi apakah mungkin, mengingat atittude orang kita sendiri juga udah kaya ga bisa ngeliat barang bagus dikit, bawaannya pengen ngerusak!

6. Jam Tidur Siang!

Yeah.. yeah.. i am that lazy! Just like a lil sleepy PIG!

7. Legalisasi pembunuhan perempuan2 cantik tanpa otak yang suka main dukun! *akar pahit penuh dendam membara*
Enuff said!

Ayo ayo... ada lagi yang mo melanjutkan? Silahkan saja lho. Saya sih ngga suka memaksa, nggak seperti beberapa orang yang saya kenal. *lirik!*

Wednesday, February 20, 2008


Cloverfield! Tidak disarankan bagi anda yang memiliki tekanan darah rendah! Anda bisa terserang rasa pusing, mual dan tiba2 merasa seperti seorang claustrophobic.

Secara cerita, sebenarnya tidak ada sesuatu yang baru dari Cloverfield. Ceritanya kurang lebih mirip dengan Monster Thriller2 hollywood lainnya. Lihat saja KingKong, Godzilla, atau Jurrasic park. Monster super besar yang mengacak2 New York dengan tanda dihancurkannya Empire State Building yang masih menjadi icon dari Big Apple ini. Yang berbeda hanyalah Cloverfield tidak menawarkan aksi heroik ala Hollywood. Tidak ada pahlawan dengan celana dalam di luar yang siap menerjang monster ini. Film ini hanya menawarkan cerita tentang 5 remaja amerika yang berusaha survive ditengah2 teror ini dengan cara2 mereka sendiri.

Scene pembuka yang unik sempat membuat para penonton ber"oohh" dan "aahh" kecewa. Pasti mereka mengira ada kerusakan glondongan film pada saat itu. Padahal itu hanyalah bagian dari opening scene yang memutar US army documentation video. Mungkin itulah sebabnya mengapa Matt Reeves, Sang Sutradara memilih untuk menggunakan tehnik dokumenter dalam memfilemkan Cloverfield. Tehnik yang sama yang pernah digunakan oleh Daniel Myrick dan Eduardo Sanchez dalam film Blair Witch Project tahun 1999 silam. Setengah jam pertama saya merasa mual karena mata saya terus dipaksa untuk berorientasi dengan pengambilan gambar yang bergoyang-goyang. Sempat saya menyesali tehnik pengambilan gambar dari film yang cara promosinya paling aneh ini. Tapi setelah lewat dari setengah jam, dan mata saya mulai terbiasa dengan goncangan2 gambar, saya malah mulai menikmati jalan ceritanya. Bahkan kalau boleh saya bilang, tehnik gambar dokumenter yang seperti diambil dengan handycam ini justru memberi efek real yang sangat dasyat. Penonton seperti diajak untuk terjun langsung ke dalam adegan per adegan. Keseruannya terasa lebih nyata! Rasanya seperti sedang mengalami sendiri teror monster raksasa ini. Seperti nonton 4D, tapi tanpa gambar keluar, kacamata 3D, dan air yang menyemprot ke kuping kamu. Acungan jempol untuk ide "Handycam"- nya.

Sedangkan untuk pembuka dari thriller-scene-nya cukup spektakuler dan dramatis. Apa yang akan kamu rasakan, saat didera kepanikan karena goncangan gempa bumi yang cukup dasyat, dan tepat setelah melihat Empire State Building meledak, dan sesaat kemudian ada sebuah benda besar melayang di atas kepala kamu dan mendarat sekitar 4 meter tepat di depan hidung kamu. Dan sangat kamu lihat ternyata itu adalah KEPALA PATUNG LIBERTY!! Lengkap dengan goresan2 dan codet2an yang entah disebabkan oleh apa. Ini adalah salah satu scene cukup membuat saya terlonjak dari tempat duduk saya yang empuk. Mengesankan!

Satu lagi yang saya acungi jempol dari film ini adalah endingnya. Saya nggak mau jadi Spoiler di sini. Jadi kalau kamu mau seperti ending dari film yang sangat dirahasiakan pembuatannya ini (bagian dari cara promosi aneh yang saya sebut diatas), kamu harus nonton sendiri. Tapi saya akan bilang satu hal. Ini adalah film Monster Thriller dengan ending paling realistis yang pernah saya tonton!

Jadi jangan tunggu sampai weekend untuk nonton film ini, karena selain lebih rame, harga tiket lebih mahal. Langsung terbang blitzmegaplex atau studio 21 terdekat. Dan jangan lupa, seperti yang selalu saya pesankan ke teman2 saya yang mau nonton film ini, BAWA ANTIMO BIAR NGGAK MABOK!!!

Selamat menonton. :)

Wednesday, February 13, 2008

Pembicaraan dengan salah seorang expertist di team project saya.

Dia: Manusia tuh, kalo punya tampang mah nggak perlu make otak buat idup.
Saya : Wah, iya pak!! Makanya, Tuhan itu adil. Orang cantik slesh Ganteng biasanya agak2 lambat. *menggesturkan tanda kutib*
Dia: Nah, itu dia! Mangkanya... kenapa juga harus pusing2 make otak, mikir keras, kalo bisa jual tampang dan laku harga tinggi.
Seorang pendompleng pembicaraan (from now on will be called SPP): Iya! Biasanya orang2 bertampang, suka ga berotak!
Saya: Mungkin bukannya ga berotak ya. Cuman secara jual tampang aja udah laku, jadi akhirnya otaknya jadi ga kepake.
Dia: Semacam otak Hommer jadinya yah?
Saya+SPP: iya! Segede kacang polong!
Dia: Makanya kemaren pas recruit java programmer, semua appliancenya ga ada yang bisa java. Masalah pinter sih... yah sama2 standart semua. Jadi saya bilang ke anak buah, kamu pilih aja yang mana yang bikin kamu paling rela untuk ngajarin. Itu berarti yang Cantik kan? Jadi akhirnya, diputuskanlah, yang diterima yang Cantik. Ga terlalu pinter ga masalah lah. Orang cantik kan bisa meredam emosi jiwa. Adem gitu...
Saya: *dalam hati* Pervert!!!

Dan begitulah ternyata, sodara2, proses perekrutan karyawan yang ideal.

Tuesday, February 12, 2008

"Valentine's Day sucks!!!"

Sering kali saya mendengar kalimat ini terlontar. Biasanya reaksi saya hanya tersenyum atau bahkan tertawa terbahak-bahak. Saya punya alasan tersendiri untuk mentertawakan para "Valentine's-Day-Haters". Plural. Karena, percayalah, ternyata banyak orang yang melontarkan pernyataan ini.

Menurut pengalaman saya, para V-Day hater (V stands for Valentine. Not Vagina! Because i think everybody would love a Vagina-Day!) ini adalah para jomblo2 merana. Orang2 yang nggak punya siapa2 untuk share hari kasih sayang ini. Mungkin mereka memutuskan untuk menjadi sinical karena dengan begitu akan lebih mudah buat mereka menjalani hari valentine ini sendirian.

Kemungkinan kedua, mereka ini adalah orang2 yang baru saja patah hati. Baru saja merasakan (dan akhirnya menyimpulkan) bahwa cinta dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya adalah hal yang menyebalkan, menyakitkan ataupun murahan. Memutuskan untuk mengutuki, mencaci dan menganggap rendah segala sesuatu yang berhubungan dengan cinta. Mungkin denial bisa membuat mereka merasa lebih enak. Bisa meringankan beban hati mereka yang sedang sakit. God have mercy for their souls.

Biasanya tawa saya akan semakin keras kalau yang mengucapkan kalimat hujatan di atas adalah kaum hawa. Biasanya saya akan menjawab, "ah, sucks.. sucks... tapi kalo ada batangan yang tiba2 dateng dan ngasih lo bunga juga lo akan klepek2!" Sama seperti yang ungkapkan oleh Jeng Ini. Sedangkan untuk para lelaki, mungkin lebih kompleks. Bisa jadi mereka benci hari valentine karena itu berarti mereka harus mengeluarkan dana lebih untuk menyenangkan pasangan mereka. "Why should we wine and dine someone first to get laid?" pasti begitu pikir mereka! Atau yang lebih menyedihkan, udah ngeluarin duit banyak untuk wine and dine but still dont get laid! Hahahaha... Atau alasan lainnya, ya itu tadi, abis di khianati oleh perempuan lacurnya, yang udah di wine and dine, udah pula get laid, tapi ternyata si perempuan punya partner get laid yang lain! Para lelaki itu sangat sensitif ternyata yah? Bisa juga para lelaki itu hanya nggak mau dianggap chezy kalo ikut2an mengagung-agungkan hari valentine seperti para perempuan. Bisa juga mereka hanya sama sekali nggak peduli dengan hari valentine.

Tapi kalo nggak peduli, kenapa juga harus membenci hari valentine? Nggak make sense kan?

Saya sendiri? Saya dulu sempat jadi seorang V-day Hatter. Bahkan saya biasa menyebutnya "FUCKlentine's Day". Kenapa? Karena saya nggak mau dianggep cewe cheezy, dan lebih2 lagi, karena nggak ada lelaki bodoh yang mau memberi saya segala tetek bengek coklat, bunga atau teddy bear. Hahaha...

Sekarang, saya bukan lagi pembenci hari valentine, bukan juga pemuja. Tapi pastinya saya juga mengharap ada orang yang cukup sayang sama saya, yang akan ngajakin saya dinner, membelikan bunga dan coklat, lalu berdua bergelung di depan TV, nonton film2 yang diromantisasi oleh hollywood secara spektakuler, sambil makan coklat. Tapi itu semua akan jadi indah, kalo si orang ini juga jadi bahagia dengan melakukan itu semua untuk saya. Dan bukan hanya karena itu keinginan saya. Bukan hanya karena saya minta. Sunguh bayangan yang sempurna atas sebuah romantisme, bukan?

Valentine ini, mungkin saya akan sendirian. Tidak merayakannya dengan siapapun. Tapi mungkin itu jadi lebih tidak menyakitkan, daripada saya harus merayakannya dengan orang yang tidak mencintai saya. Rasanya jadi terlalu egois. Terlalu memaksakan.

So, Happy Valentine's Day, everyone!

Wednesday, February 06, 2008

About the Layout. Sebenernya ini layout lama. Mungkin bahkan ini layout pertama kali saya bikin blog ini. Tapi entah kenapa saya tetep suka. Simple and peaceful kesannya. Jadi yah, bisa dibilang CLBK. Hahahaha...

Sudah hampir seminggu ini saya disibukan degan pindahan kantor ke sana kemari. Nggak sempet update blog, nggak sempet blogwalking, chating juga antara ada dan tiada. Intinya, project baru, kesibukan baru juga kestressan baru pastinya.

Belakangan saya mendapat pertanyaan yang sama dari beberapa orang berbeda. "Lo tu orangnya gelap banget sih?", "Lo seharusnya bisa lebih cheerful (semacam sebutan untuk vagina di majalah lifestyle?)", "What happened to you, dear? Lo kok belakangan kayanya desperate banget, mellow aja?", "Lo seharusnya bisa lebih positif melihat hidup ini. Nggak segitu skeptisnya" dan masih banyak lagi.

And can you blame me for being skeptical in this crappy so called "Real Life"? Dunia dimana Hukum Rimba berlaku. Siapa cepat, dia dapat. Eat, or be eaten! Dunia dimana hal2 buruk lebih banyak terjadi. Dunia dimana "Hope is just a fancy word for Disappointment" is not just a phrase. Saya harus harus membiasakan diri dengan segala kekecewaan yang mungkin akan menimpa saya. Harus selalu well prepared, supaya kalau jatuh nggak sakit2 amat.

"Nggak selalu hal buruk yang terjadi ama kamu kan? Justru dengan pikiran negatif kaya gitu, justru hal2 negatif yang akan mendatangi kamu," kata seseorang.

Dan saya menjawab, "Honey, untuk hal2 yang bagus, untuk hal2 yang membahagiakan, gue nggak perlu well prepared. Kalo seneng2 mah ya nikmatin aja. tapi kalo hal2 buruk? Hal2 yang menyakitkan? Kalo ga bener2 ada persiapan mental, bisa bunuh diri lo! Dunia ini kejam, Jendral!"

Analoginya seperti ini. Yang paling simple yang pernah saya lontarkan adalah "Memanjat Pohon". Saat memanjat pohon, kamu akan mempelajari pohon itu terlebih dahulu. Melihat apakah ranting2 dan dahan2nya kuat. Jalan mana yang paling mudah diambil untuk sampai ke puncak pohon. Setelah itu mulai memanjat. Lalu rasa2kan, apakah dahannya licin? Say, worst casenya, kamu jatuh dari pohon sebelum sampe ke puncak, kira2 gimana memposisikan tubuh supaya saat menghempas tanah, bagian2 vital tidak terhempas keras. Meminimalis luka tubuh. Mengurangi kemungkinan cedera dan patah tulang. Pikirkan skenario paling buruk, hingga kalau justru skenario itulah yang terjadi, kamu udah siap. Tau apa yang harus kamu lakukan. Nggak cuman ngengkleng *dear bubba, apa basa indonesanya ngengkleng?* ga jelas kaya sapi ompong, lalu bunuh diri. Orang yang positive akan bertanya "mungkin aja yang negative ga akan terjadi dan justru yang positive yang terjadi kan, eve?" Dan saya akan jawab, "Yah, kalo yang positive yang kejadian, say misalnya dalam kasus manjat pohon ini, kamu berhasil sampe atas, ya nikmatin aja. Ga perlu prepare2 segala macem tokai kucing kan? Tinggal lakuin aja apa yang mau lo lakuin diatas sana."

So, me being negative, ada alasannya. Bukan berarti saya adalah mahluk pemuram durja yang ga tau diuntung. Saya hanya ga mau jatuh, terhempas, patah tulang, lalu mati! Saya lebih pintar daripada itu!

Besides, saya negative, itu kan kamu liat di blog ini saja. Bukankah itulah gunanya blog? Untuk menyalurkan segala negatifitas supaya nggak tertahan di dalam, membuncah lalu meledak? Saya tetap perlu penyaluran. Dan mengapa isi blog saya semuanya negatif? karena saya hanya menulis waktu yang saya rasakan sedang negatif.

Anyway, ojek jemputan saya sudah menunggu di bawah. Jadi saya harus pulang.
Oh ya, kalau kamu suka backsound template ini, judulnya Answer dari Sarah Mclachlan.

Monday, January 28, 2008

Untuk kamu yang berniat untuk berbuat curang pada pasangan kamu.

“Having affair is nothing like taking a pottery class. No. It would start out like that, and then something would happen. Someone finds out, or someone falls in love. And it ends disastrously. They always end disastrously.”

- Unfaithful -


Percayalah, dicurangi, dibohongi apalagi sama orang yang paling kamu sayang, itu sakit!

Ah, entahlah... belakangan saya merasa, mungkin selama ini saya sudah jadi orang yang terlalu jahat. Banyak menyakiti orang lain. Jadi sekarang saya sedang membayar semua kejahatan saya. Hal tergila yang sempat terlintas di pikiran saya, menelpon semua orang yang pernah saya sakiti, dan minta maaf pada mereka.

Sabtu malam, saya meraung di kamar, sendiri. Minta ampun pada siapapun yang berhak memberi ampunan. Kalau saya pernah jahat, tolong ampuni. Memohon agar menyudahi semua karma yang harus saya bayar ini. Berpikir keras, bertanya-tanya, apakah begitu sulitnya bagi mereka untuk memaafkan saya. Sumpah serapah mereka telah saya rasakan. Jadi tolong maafkanlah... Meraung agar rasa sakit ini berkurang. Agar kekuatan bertambah. Agar kewarasan dikembalikan. Agar kesakitan ini berenti.

Mungkin lebih baik tidak membiarkan siapapun terlalu dekat pada saya. Dengan begitu akan mencegah saya menyakiti orang lain, dan mencegah orang lain menyakiti saya.

Mari kita bangun tembok yang lebih tinggi, dan lebih tebal.

Saya merasa seperti akan ada pengulangan kejadian 7-8 bulan yang lalu. Akan selalu ada orang lain. Pendatang baru? Atau pemain lama? Terserah apa katanya. Orang yang pernah berbohong, apalagi lebih dari sekali, bagi mereka berbohong sekali lagi tidak ada salahnya. Seperti kata seseorang, seseorang yang berpotensi terbesar untuk melakukannya, "Kalo pernah ngelakuin sekali, untuk yang selanjutnya tu jadi lebih mudah. Bohong sekali, kemudian yang kedua jadi lebih mudah! Selingkuh sekali mungkin berat. Tapi kedua kali akan lebih mudah. Kalo ada Sekali, pasti akan ada Kedua. Lalu akan ada Ketiga dan Keempat. Begitu seterusnya." Mungkin memang, sebuah pernyataan akan jadi lebih akurat kalau dikeluarkan dari mulut orang yang pernah melakukannya. Ia akan terus mencari yang lebih baik, dan mendapatkannya. Ahhh... Mungkin memang karena saya tidak pernah jadi cukup baik. Tidak cukup pintar. Tidak cukup cantik. Mungkin keberadaan saya membuatnya malu. Saya memang dilahirkan seperti ini. Tidak bisa berharap lebih. Tidak bisa menjadi lebih. Lagipula, mengapa harus melepaskan saya kalau bisa menjadikan saya sebagai ban cadangan?

Ah.. sungguh brilian!

Monday, January 21, 2008

Sudah dua minggu, perempuan itu ada dalam mimpiku. Apa yang dia lakukan disana? Di dunia paling pribadi yang seharusnya hanya milikku. Yang seharusnya hanya ada aku dan orang2 yang aku ijinkan untuk memasukinya? Dan dia ada di sana berturut2, 14 malam?

Setiap malam adalah mimpi buruk. Kalau tidak ingat besok aku harus ada dikantor jam 8 pagi, aku lebih memilih marlboro light dan koleksi mp3ku.

2 minggu bukan suatu hal yang biasa. adakah ini sebuah pertanda? Bahwa kaupun tak pernah melepasnya, seperti kau tak pernah melepasku? Hanya bedanya, ada cinta untuknya.

jangan paksa aku terus hidup dalam bayang2 orang yang bahkan tak aku kenal. jangan paksa aku! apa kesakitanku belum cukup? haruskah aku dipakukan terbalik dengan kepala di bawah? di lebur dalam minyak panas, di tarik ke 4 penjuru mata angin? Haruskah aku jadi martir?

Karena martir cinta, tidak terdengar hebat sama sekali!

dimana ada kamu, aku melihat ada dia. tidak secara fisik, tapi bayangan yang selalu menyelubungimu. semua kenangan2 nyata yang sepertinya tidak ingin kau hapus. Bahkan sepertinya kau lebih memilih hidup dengan kenangan itu daripada dengan kenyataan. denganku.

Hidup ini pilihan, dear. Kalau kau lebih memilih hidup dalam kenanganmu, yang bahkan tak ada bagus2nya itu, maka tinggalah di sana. Tapi jangan bawa aku bersamamu. Karena aku tidak mau hidup dalam bayangan kenangan siapapun! Apalagi kenangan yang semenyakitkan itu. Jangan paksa aku. Jangan paksa aku mengingat semua itu. Lukanya belum sembuh, kasih. Entah kapan akan sembuh. Apakah bisa sembuh?

Sekarang ijinkan aku mengatakan apa yang daritadi ada di pikiranku.

TAIK AH!!!!