Saturday, July 09, 2005

Kelly

Aku masih berada di depan cermin di sebelah lemari bajuku. Memeriksa kembali seluruh dandananku. Apakah sudah cukup rapi dan pantas. Sengaja hari ini aku memakai riasan yang natural. Aku tidak mau dianggap sebagai perempuan yang terlalu berlebihan. Kuperiksa kembali lipatan rok lipit denimku. Aku mengusap-usap bagian bahu dari kemeja merahku agar lebih lurus dan rapi. Hari ini aku akan pergi ke tokonya. Bertemu dengannya. Mengobrol, makan, minum dan tertawa bersamanya. Aku sudah tidak sabar lagi. Sudah kurencanakan hal ini sejak lama.

Memang selama beberapa waktu terakhir ini, aku selalu bertemu dengan tidak sengaja dengannya. Di mall, di jalan dekat rumahnya, di tempat makan, di tempat bilyar. Hampir bisa di bilang terlalu sering bertemu dengannya. Tapi tak pernah bisa benar-benar mengobrol. Karena selama ini aku hanya bertemu selintas dengannya, dan dia selalu terlihat sibuk melakukan sesuatu, hingga kami tak pernah bisa mengobrol. Tapi hari ini lain. Hari ini adalah hari istimewa karena aku akan benar-benar duduk berdua dengannya, menatap langsung ke matanya yang kelam, menikmati senyum manisnya dan kalau aku beruntung, mungkin aku bisa sedikit menyentuhnya.

Aku melirik kearah jam di atas meja komputerku. Jam 11:30. Bagus. Sudah dekat waktu jam makan siang. Untuk memastikan, mungkin lebih baik aku menelpon ke tokonya terlebih dahulu. Yah… aku memang sudah beberapa kali menelpon ke tokonya. Dan beberapa kali pula aku meninggalkan pesan pada sekertarisnya, yang mengatakan bahwa dia sedang ada pertemuan di luar. Tapi aku yakin saat aku sampai di sana nanti, dia pasti sudah ada di kantornya, duduk manis, menungguku datang.

Ketika taksi yang kutumpangi sudah sampai di dekat tokonya, aku segera menyuruh pak sopir untuk berhenti di pinggir. Tepat di depan sebuah wartel, tidak jauh dari tempat yang kutuju itu. Setelah membayar taksi, aku menimbang-nimbang kembali, apakah lebih baik langsung masuk atau menelpon dulu untuk memastikan dia sudah kembali dari pertemuannya. Akhirnya aku memutuskan untuk menelpon dulu. Agar lebih yakin.
Dengan perasaan sedikit kecewa, aku keluar dari wartel. Ternyata dia masih belum kembali dari pertemuannya. Bahkan kata sekertarisnya, mungkin dia tidak akan kembali sampai sore nanti. Kenapa dia bisa melupakan pertemuan kami hari ini? Aku mencoba memikirkan alasan yang tepat, kenapa dia sampai lupa. Tapi tak urung, aku kecewa juga. Dan saat aku menunggu taksi yang lewat, yang akan membawaku kembali ke apartemenku, mataku tertumbuk pada mobil sedan hitam yang terparkir di luar toko bukunya. Itu kan mobilnya? Kenapa mobilnya ada, tapi orangnya nggak ada?

Segala pemikiran bercampur-aduk di dalam kepalaku. Sampai akhinya aku menyimpulkan bahwa mungkin dia memang ada pertemuan di luar bersama dengan teman-teman bisnisnya. Jadi dia tidak perlu membawa mobil. Segera saja aku berjalan mendekati mobilnya. Mungkin aku bisa menyelipkan sedikit pesan di mobilnya, dan bertanya mengapa dia melupakan janji kami hari ini.

Karena tidak tahu apa yang akan kulakukan hari ini selain bertemu dengannya, akhirnya aku hanya terdiam di tepi jalan menunggu taksi yang lewat, yang akan membawaku pulang ke apartmentku. Sewaktu-waktu bisa saja dia menelpon ke apartemenku dan meninggalkan pesan kenapa dia membatalkan rencana kami hari ini secara mendadak.

Sesampainya di rumah aku hanya duduk-duduk di depan komputerku, mencoba menyelesaikan pekerjaan yang sudah tertunda selama seminggu ini. Ternyata tidak mudah menyelesaikan pekerjaan, saat konsentrasimu sedang terpecah. Mana yang lebih dulu harus kulakukan? Memikirkan setumpuk company profile dalam Bahasa Inggris yang njelimet—rumit—atau memikirkan tentang seseorang yang kau sukai? Aku lebih memilih yang kedua, tentu saja!

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 8:30 malam. Dan belum ada telpon sekalipun darinya yang memberikan penjelasan kenapa dia membatalkan janji kami hari ini. Aku mulai frustrasi dan gelisah. Bahkan beberapa kali aku menelpon ke tokonya, tapi ternyata masih perempuan yang mengangkat telponku, dengan jawaban yang sama. "Tidak ada di tempat", "Ada pesan?", "Nanti saya sampaikan". Tapi bahkan sampai malam inipun masih belum ada kabar darinya. Arrgghh... aku mulai tidak sabar. Mungkin sedikit alkohol bisa membantuku.Aku harus ke Taverna. Yah, sedikit menghilangkan ketegangan. Mengurangi kegelisahan. Dan siapa tahu, ya, siapa tahu aku akan bertemu dengannya di sana.

Aku duduk di tempat favoritku, tempat duduk di dekat bar. Belum lagi aku memesan minumanku, joe sang bartender langsung menghampiriku lalu meletakkan gelas di meja. Segelas martini, diaduk. Bukan dikocok.
Kuedarkan pandanganku ke seluruh ruangan yang penuh dengan orang-orang yang berdesakan. Pria dan wanita berpakaian minim memenuhi lantai dansa. Maklumlah, malam ini merupakan malam dimana semua orang tumpah ruah menghabiskan waktu untuk clubbing.
Terdengar suara manja perempuan yang duduk di sebelah tempat dudukku. Dan ketika aku menoleh, aku melihat tiga orang perempuan cantik dengan baju terbuka dibagian pundak sedang bermanja-manja pada satu pria setengah baya berkepala botak dengan tubuhnya yang tambun yang kutebak umurnya sekitar empat puluhan. Sepertinya mereka semua sudah mabuk. Ketiganya mengelilingi pria botak yang tangannya menjelajah setiap inci tubuh-tubuh perempuan itu. Sesekali bibir pria itu mencium bibir, bahu dan leher mereka. Bahkan belahan dada perempuan-perempuan itupun tak luput dari bibirnya. Sedangkan perempuan-perempuan itu hanya tertawa manja. Sungguh pemandangan yang menjijikkan.
Melihat semua itu, timbul kemarahan di dalam diriku. Aku sangat benci pada pria setengah baya yang berkelakuan seperti itu. Hal itu mengingatkanku akan sesuatu. Dan aku sangat tidak nyaman dengan ingatan itu. Aku benci. Aku marah. Ingin rasanya kuambil gelasku dan melemparkannya ke kepalanya yang botak. Dasar pria tidak ingat umur! Apa mereka tidak ingat kalau mereka mungkin punya anak dan istri yang menunggu di rumah? Dan begitu gampangkah mengabaikan keluarga mereka semudah membalikkan telapak tangan mereka yang gemuk-gemuk?

"He's getting lucky, huh?"
Aku mendongak. Di depanku telah berdiri seorang pria sekitar tiga puluh yang berbadan tegap. Tampangnya cukup lumayan. Mataku bergerak dari atas sampai ke bawah. Menelitinya. Mungkin juga menelanjanginya. Ok, rate 1 to 10 ? He's 8.
"I bet he is" jawabku sinis dengan sedikit seringai di bibirku..
Ia langsung duduk di sebelahku. "Minum?"
Aku menunjuk ke arah gelasku yang masih berisi setengah.
Lelaki itu mengangguk lalu mengeluarkan rokok dari saku kemejanya.
"Sebenernya ada apa dengan lelaki, rokok dan saku kemeja?" tanyaku sambil tersenyum ke arahnya.
"Hah?"
"Yah, sepertinya kebanyakan cowo menyimpan rokok di saku kemejanya. Kebiasaan atau ada penjelasan tertentu?" tanyaku sambil menghabiskan setengah sisa minumanku.
"Well, kebiasaan mungkin. Tapi mungkin juga karena lebih mudah diambil aja, dan pastinya nggak akan patah-patah. Kalo rokok di taro di kantong blakang celana, pasti pas dikeluarin, rokok itu udah nggak berbentuk" jawabnya sambil menyulut sebatang rokok.
Aku tersenyum.
"Ok, minuman kamu udah abis. Nambah?" tawarnya.
"Yes, please."
Lelaki itu memanggil Joe, sang bartender. Sementara itu aku kembali melayangkan pandanganku ke arah pria tua dan tiga orang wanitanya itu, dan merasa semakin mual.
"There you go… Martini, diaduk. Bukan dikocok" kata lelaki itu sambil menyorongkan segelas martini padaku.
"Thanks… kok kamu tau minuman kesukaan aku?" tanyaku heran.
"Joe yang bikin. Dia bilang kamu suka martini yang diaduk"
Alisku terangkat. Rupanya Joe sangat memperhatikanku. Aku melihat Joe yang sedang sibuk mencampur beberapa minuman. Dan ketika matanya menangkap basah mataku yang sedang memperhatikannya, segera kuangkat gelas yang berisi martini dan menghabisinya dengan sekali teguk. Ia tersenyum kemudian kembali kerja. Rasa hangat mulai menjalar ke seluruh tubuhku.
Aku mencari pematik di tasku ketika kulihat pria yang masih belum kuketahui namanya itu menyodorkan api.
"Thanks"
"Oya, daritadi kita belum kenalan. Frans"
"Kelly"
"Nunggu temen?" tanyanya.
"Nggak"
"Jadi sendirian aja?"
"Yup! All by my self" ujarku asal-asalan.
Ia tertawa. Tawanya sungguh enak didengar.
"Well, suatu keuntungan buat aku, ya?" sambungnya dengan tawa menggoda.
"If you say so…" Ok, he's smart.
"Kelly, would you care to dance with me?"
Aku mengiyakan. Kami mendapat tempat di tengah lantai dansa. Mulai kugoyangkan tubuhku yang menempel erat ditubuhnya. Tidak butuh waktu lama untuk membuat tubuhku basah berkeringat.

Tidak seperti kebanyak lelaki yang kukenal di tempat-tempat clubbing yang menurutku sangat tidak bisa bergoyang bahkan diantaranya bergoyang sangat aneh, kuakui ia sangat pintar mengimbangi goyanganku. Tak terasa sudah empat lagu kami bergoyang.
Kemudian ia menarik tanganku, berjalan menuju tempat duduk.

Dan pada saat itulah aku menangkap sosok seseorang yang sudah begitu kukenal. Dia ada di sana! Bersama sekelompok orang, yang menurut dugaanku adalah teman-temannya. Tertawa-tawa, minum dan bergoyang. Berdiri memegang sebotol corona, dibalut dengan jeans berwarna gelap dan kemeja hitam seperti biasanya. Tapi kali ini berbeda. Dia memakai jaket kulit yang sangat pas dengan tubuhnya, dan seuntai syal melingkar di lehernya. Looking, oh, so stunning. Aku terus mengamatinya, sampai-sampai tidak sadar bahwa Frans masih ada di sebelahku. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan nggak penting.
"Kamu jago juga ya nge-dance-nya"
"Thanks" jawabku sekenanya.
Ia meneguk minumannya. "Minum lagi?"
Aku mengangguk.
Gelas ketiga membuatku lebih ringan dibandingkan sebelumnya. Kubiarkan tangannya melingkar di pundakku. Jari-jarinya menyentuh pundakku, dan memainkannya di sana. Tapi saat ini aku sama sekali tidak bisa menikmati sentuhan lelaki manapun. Otakku terlalu dipenuhi oleh sosok jangkung yang berdiri beberapa belas meter di depanku.
Frans mulai bergerak lebih berani. Dia mulai memainkan bibirnya di leherku. Mau tak mau aku merasakan sensasinya juga. Alkohol dan lelaki, what a combination! Setengah terpejam aku menikmati getar-getar halus yang menjalar dari leher ke seluruh permukaan kulitku. Dan ketika aku kembali membuka mata, aku tersentak kaget. Sosok itu sudah tidak ada di sana lagi! Kemana perginya? Aku menyapukan pandanganku ke seluruh ruangan, dan tidak menemukannya dimanapun. Apa dia sudah pulang? Lalu kembali mataku terpaku di meja tempatnya duduk tadi. Syalnya masih ada di sana. Di atas meja, di antara gelas-gelas kotor yang berserakan. Mungkinkah dia lupa meninggalkan syalnya di sana? Atau dia tadi melihatku dan meninggalkan tanda padaku dengan cara meninggalkan syalnya? Yah apapun itu, aku harus segera mengambil syal itu, dan mengembalikannya.

Dengan tiba-tiba aku berdiri, dan setengah berlari menuju ke arah tempat syal itu berada. Frans tampak sedikit kaget dengan gerakanku yang tiba-tiba ini. Tapi aku tidak perduli. Aku cepat-cepat menyambar syal itu, lalu berlari keluar Taverna, berpikir siapa tahu aku masih bisa menyusulnya di pintu depan. Kalaupun tidak sempat, aku bisa langsung mengantarkan syal ini ke rumahnya. Setidaknya syal ini bisa menjadi alasanku untuk bertemu dengannya malam ini kan?




Keisha

Seharian ini suasana hatiku sedang kacau. Badanku terasa lemas. Pikiranku melayang-layang entah kemana. Semua pekerjaanku rasanya tidak ada yang beres. Belum lagi ditambah dengan Mbak Nina yang terus menerus mendesakku untuk segera menyelesaikan profile seorang artis perempuan yang sedang naik daun untuk di taruh di website. Bahkan Redo yang biasanya percaya dengan skrip buatanku pun kali ini terus saja menggangguku dengan koreksi-koreksinya yang nggak penting pada skrip acara 'World Wide', acara baru yang diproduserinya.

Segala kekacauan ini berawal dari kejadian dua hari yang lalu. Sebenarnya apa yang terjadi kemarin sore? Itulah yang menjadi masalahnya: aku sama sekali tidak ingat apa yang terjadi kemarin sore. Seperti biasa jam lima sore aku keluar dari kantor, bermaksud naik angkot yang akan membawaku ke San's Crib untuk menyegarkan diri dengan segelas white chocolate oreo. Dan sesampainya aku di jalan dekat dengan San's Crib, tempat dimana aku harus turun dari angkot karena angkot yang aku tumpangi memang tidak melewati jalan di mana San's Crib berada, langit sudah berubah gelap. Mungkin karena mendung yang memang sudah menggayut sejak sore tadi. Aku berjalan lewat jalan yang mulai gelap dan sepi itu. Jalan yang selama ini sudah begitu aku kenal karena seringnya aku mendatangi San's Crib. Tapi entah kenapa jalan yang biasa aku lewati itu kemarin terasa begitu berbeda. Sedikit terlalu sunyi. Terlalu mencekam. Entah karena suasana senja yang memang biasanya membuatku merasa kesepian, atau itu semua hanya perasaanku saja. Ya pasti hanya perasaanku saja, pikirku.

Tapi ternyata perasaanku itu bukannya tanpa alasan, karena begitu aku sampai di ujung jalan, tepat di tikungan ke arah jalan tempat San's Crib berada, aku melihat seorang lelaki yang tampak lusuh dengan rambut awut-awutan. Lelaki itu berumur sekitar 40an, dengan pakaian yang tampak sudah berbulan-bulan tidak dicuci, celana yang ditambal di sana-sini. Otakku langsung berputar cepat bagaimana menghindari lelaki ini, dan reflekku langsung membawa kakiku untuk menyebrangi jalan, berusaha untuk melewati jalan sejauh mungkin dari lelaki itu. Setelah semakin dekat, aku langsung sadar bahwa lelaki itu sedang mabuk berat dari caranya berdiri yang gelisah, dan tentu saja dari caranya berteriak-teriak menggodaku. Dan hal itu semakin jelas ketika tiba-tiba dengan sempoyongan, lelaki itu berlari menyeberangi jalan, menuju ke arahku sambil berteriak-teriak tidak jelas. Aku sudah siap-siap untuk lari, ataupun berteriak, atau apapun untuk berusaha menghindari apa saja yang akan menimpaku. Tapi ternyata aku tak cukup cepat, karena lelaki itu sudah tiba di sebelahku, menarik tangank, menghentakkan tubuhku ke dalam pelukannya. Sambil terus meronta, aku berteriak sekuat-kuatnya berusaha membebaskan diri darinya. Aku begitu ketakutan. Dan aku masih bisa mencium bau alcohol murahan dari mulut dan badannya. Bau alcohol yang bercampur keringat yang sangat memuakkan. Dan hal terakhir yang kuingat adalah bagaimana tangan kanannya yang memeluk pinggangku. Bukan. Pantatku. Meremasnya sambil terus menekannya agar lebih menempel ke arah pangkal pahanya. Sementara tangan kirinya sibuk menggerayangi dadaku.

Setelah itu, aku sama sekali tidak ingat apa-apa. Apakah aku pingsan? Ataukah ada seseorang yang datang menolongku? Aku sama sekali tidak tahu. Yang aku tahu adalah aku terbangun pagi ini, di kamarku, dengan kepala yang seperti di pukul-pukul dengan palu sebesar monas. Ya! Pasti ada yang menolongku waktu itu, mengingat bagaimana kerasnya aku berteriak minta tolong. Mungkin penduduk setempat yang melihat kejadian itu, ataupun hanya orang yang kebetulan lewat jalan itu. Tapi mengapa aku tidak tahu apa yang terjadi kemarin. Apa saja yang aku lakukan. Tapi sepertinya aku mulai terbiasa dengan keadaan seperti ini. Sejak kejadian batal shopping beberapa waktu yang lalu, hal pertama yang aku lakukan setelah bangun tidur adalah mengecek kalender di komputerku dan di Hpku. Dan aku tahu bahwa aku baru saja kehilangan waktu lagi. Kemarin. Sehari penuh. Apa saja yang aku kerjakan? Semoga bukan suatu hal yang memalukan.

Mungkin aku harus mulai memeriksakan kepalaku ke dokter. Episode kehilangan-hari itu mulai sering melandaku. Aku kawatir ada sesuatu yang tidak beres dengan otakku. Mungkin tumor atau apa. Tapi aku tidak pernah berhasil meyakinkan diriku sendiri untuk periksa ke dokter, karena aku begitu takut untuk menghadapi hasilnya nanti. Bagaimana kalau benar-benar kanker? Apa yang harus aku lakukan? Aku yakin tidak akan mampu menerima kenyataan itu.

Tapi sekarang di sinilah aku, berusaha mengerjakan pekerjaanku sebaik-baiknya, di tengah-tengah segala kericuhan yang terjadi di kantorku. Dengan kepala yang masih terasa berdentam-dentam walaupun aku sudah menelan 2 butir aspirin. Dan percayalah, sungguh sulit untuk berkonsentrasi dengan pekerjaan dengan kepala yang begitu sakit, di tengah-tengah 'Hari-Senewen-Sedunia'.

Setelah lewat jam satu siang, semuanya mulai mereda. Semua orang sudah mulai bisa bersantai. Mungkin karena sekarang sudah waktunya untuk makan siang. Dan setiap waktu makan siang, semua wajah yang sejak pagi terlihat garang, tiba-tiba jadi tersenyum cerah seperti matahari di bulan agustus. Aku segera memutar nomor telepon restaurant Chinese food yang berada dekat dengan kantorku. Aku terlalu malas untuk makan di luar. Dan jelas karena pekerjaanku yang menumpuk karena kemarin aku kehilangan sehari lagi dari waktuku yang mestinya bisa aku gunakan untuk menyelesaikan tugasku, maka sepertinya makan mie ayam jamur delivery lebih masuk akal buatku saat ini.

Setelah makanan pesananku tiba, aku segera mengklik icon internet explorer di komputerku. Bersiap-siap untuk surfing ke dunia maya demi mencari breaking news untuk jam 3 nanti. Dan saat aku mulai mencari-cari topic yang menarik di search engine, Hpku berbunyi. Danny! Ah, selingan yang sangat menyenangkan di tengah-tengah hari yang kacau balau ini.

"Halo?"
"Halo, Dan."
"Hey! Pasti lagi makan siang ya?" tanyanya.
"Iya nih. Lo nggak makan siang?" sahutku balas bertanya.
"Ini lagi sambil makan. Gue agak-agak males buat makan keluar."
"Hahaha... sama!! Gue juga lagi males keluar. Hari ini hectic banget. Dan masih banyak kerjaan gue yang mesti di kelarin" sahutku panjang lebar sambil berusaha menyumpit baso ikan ke mulutku.
"Wah, gue ngeganggu ga nih?"
Ngeganggu? Yang bener aja!! Telpon lo ini bagaikan oasis yang berisi jus jeruk dingin dan seger di tengah-tengah padang pasir buat gue!!!
"Nggaklah. Bahkan Bill Gates juga perlu isitirahat kan?" jawabku sekalem mungkin yang langsung di sambut oleh tawanya yang renyah.
"So, how's life?" tanyaku lagi sambil menambahkan kecap asin ke mieku yang rasanya sedikit hambar.
"Well, actually life's been kinda suck, or should I call it creepy? Dan itu yang mau gue ceritain sama lo sebenernya" jawabnya setelah terdiam sebentar.
"Lha? Emang kenapa, Dan? Jangan bilang 'orang sakit' itu masih ngegangguin elo!" jawabku sambil menegakkan dudukku.
"Iya!!! Dan sekarang lebih parah lagi!!" sahutnya hampir berteriak.
Aku bisa merasakan ada nada panic dalam suaranya. Ah, apalagi yang dilakukan orang gila itu pada Danny-ku? Danny-ku? Great! Sejak kapan dia jadi properti lo Kei?
"Tau nggak Kei? Seharian kemaren gue emang nggak ada di toko. Soalnya dari pagi sampe sore gue harus terus ketemu orang buat meeting, lunch, atau apa ajalah. Soalnya gue seharian kemaren emang sibuk banget. Ngurusin soal pembukaan cabang toko gue. Dan gue kemaren emang ga bawa mobil ke mana-mana, soalnya gue pergi ama temen gue yang punya tempat yang bakal gue pake buat cabang baru toko gue. Jadi mobil emang sengaja gue tinggal di toko. Dan pas sorenya gue balik ke toko, tebak apa yang terjadi?"
"Toko lo di bom?" tanyaku ragu-ragu sambil memperkirakan hal terburuk yang bisa terjadi.
"Ya!!! Tepatnya, asisten gue di bom pesen sama orang gila itu!!!" katanya berapi-api . Aku tidak bisa membayangkan bagaimana wajah Danny sekarang ini. Dia terdengar sangat marah. Tapi bagaimana aku bisa membayangkan wajahnya bila sedang marah, sedangkan dia tak pernah marah padaku..
"Bom pesen?" tanyaku tak mengerti.
"Iya! Bom pesen! Kata asisten gue, selama gue nggak ada, dari pagi sampe sore, orang it uterus nelpon ke toko, nyariin gue, ngomongin soal janji makan siang bareng, yang gue yakin nggak pernah gue bikin sama dia. Dan lo tau nggak berapa kali dia nelpon ke toko gue?"
"Mmm... sepuluh?"
"Sepuluh, normal! Oke, mungkin nggak terlalu normal sih. Tapi ini lebih gila lagi! Dia tuh nelpon dan nitipin pesen ke asisten gue sampe 214 kali!!! Gila nggak sih?!?" serunya masih dengan emosi yang menyala-nyala.
"Hah?!? Dua ratus empat belas kali? Itu sih sinting namanya!" kataku mendadak jadi ikut emosi.
"Tuh kan!! Apa gue bilang? Orang gila kaya apa sih yang nelpon sampe 214 kali sehari? Sakit!"
"Tenang, Dan, tenang" kataku berusaha *lebih jelasnya* menenangkannya.
"Gimana gue bisa tenang, Kei? Ada orang gila, yang nggak gue kenal, yang nganggep gue bikin janji untuk makan siang sama dia. Masalahnya gue nggak tau orang ini siapa. Dan yang lebih gila lagi, dari pesen-pesen yang di titipin ke asisten gue, kayanya dia tuh udah kenal deket sama gue, atau kalo boleh gue bilang, udah pacaran atau apa gitu ama gue. Dua ratus empat belas kali!! Sakit!!"
"Dan lo tau apa yang lebih sakit lagi?" tanyanya kemudian.
"Pas gue sampe di kantor, yang pertama gue liat adalah mobil gue, yang kaca depannya udah di coret-coret pake lipstick warna merah!" sahutnya tanpa menungguku menjawab.
"Dicoret-coret?" tanyaku bingung.
"Iya! Dicoret-coret! Yah mungkin nggak puas setelah nelpon sebanyak 214 kali, akhirnya dia mutusin buat nulis sendiri pesennya di kaca mobil gue, make lipstick! Gila kan? Yang ada sore-sore gue harus nyuci mobil di depan toko gue. Nggak mungkin kan gue pulang dengan coretan lipstick di kaca depan mobil gue?"
"Emang pesennya apa, Dan?"
"Yah gitu deh, tentang gue ngingkarin janji makan siang ama dia, tentang gimana kecewanya dia, tapi dia tetep maafin gue. For God sake!! Maafin gue?! Gue bahkan nggak tau siapa dia!!! Damn!!"
"Kalem, Dan. Coba lo pikir-pikir lagi. Sapa tau elo emang janji makan siang sama seseorang, tapi lo lupa" kataku berusaha untuk berpikir logis, karena semua yang di ceritakan Danny itu sama sekali tidak logis buatku.
"Nggak mungkin, Kei. Acara gue hari ini tuh udah di rencanain jauh-jauh hari. Nggak mungkin kan gue bikin makan siang ama some psycho, kalo gue tau hari ini gue bakalan ketemu sama orang-orang yang cukup penting, buat pembukaan cabang baru toko gue?" katanya lemas, seolah-olah kecapekan setelah menyemburkan semua emosi yang ada dalam dirinya. Aku mendengarnya meneguk minuman, sebelum akhirnya menyambung lagi.
"Dan itu belom selesai, Kei."
"Hah? Masih ada?"
"Iya! Setelah gue pulang ke rumah, waktu itu masih sore. Dan entah kenapa, gue ngerasa kaya ada yang merhatiin gue terus. Kaya ada yang ngikutin gue. Mungkin gue parno ya. Tapi lo pernah kan ngerasain kaya ada orang yang terus-terusan ngawasin elo? Nah, itu yang gue rasain sesorean."
"Perasaan lo doang kali, Dan?"
"Mungkin juga sih. Gue terlalu… apa ya? Mm… panik kali. Tapi ternyata panik gue itu beralasan banget, Kei. Jadi karena gue senewen, akhirnya gue mutusin buat jalan ama temen-temen gue ke Taverna. Dan gue ke sana make syal warna item gitu deh. Cuman pas gue pergi ke WC sebelom pulang, syal itu emang gue tinggal di meja. Gue pikir temen-temen gue masih ada di sana. Tapi pas gue balik lagi, temen-temen gue udah nggak ada, dan syal gue itu juga nggak ada. Gue pikir mereka udah pulang dan karena mungkin mereka gue pulang dan syal gue ketinggalan, jadi syal itu di bawa mereka.Tapi yang gue kaget, pas gue sampe di rumah, ternyata syal gue itu udah terlipat rapi di atas meja di beranda rumah gue."
"Mungkin nggak, temen-temen lo mampir dulu ke rumah lo buat ngembaliin syal?" tanyaku.
"Ya emang itu yang pertama kali kepikir ama gue. Tapi setelah gue telpon ke temen-temen gue, mereka malah nggak tau kalo gue ninggalin syal di meja Taverna. Jadi pikir gue, siapa lagi yang naroh syal gue di situ? Pasti orang gila itu. Pasti dia ngikutin gue sampe Taverna. Atau seenggaknya dia tau kalau gue mo ke sana malem itu" sahutnya dengan nada yang lebih tenang. Tidak seemosi tadi.
"Yah, seenggaknyaa dia nggak main masuk ke dalem rumah lo lagi kan? Lo masih naroh kunci rumah lo di balik pot bunga kan?" tanyaku.
"Udah enggak. Masalahnya, kayanya perasaan gue bener deh. Kayanya dia bener-bener selalu merhatiin gue. Stalking me everywhere. Soalnya pas gue udah siap-siap mo tidur, udah di atas kasur, dan matiin lampu, gue sempet ngeliat ada kepala nongol di luar jendela gue. Kaya orang lagi ngintip gitu deh, Kei"
"Hah? Gila serem amat!" seruku sambil bergidik ngeri. Tak dapat membayangkan kalau sampai kejadian ini terjadi padaku.
"Terus?" lanjutku lagi.
"Ya, gue kaget, terus langsung loncat bangun, nyalain lampu, dan gue lari keluar buat ngeliat sapa orang yang ngintipin gue tidur dari jendela. Tapi pas gue sampe di luar, gue nggak liat sapa-sapa. Kalo kaya gini terus, lama-lama gue bisa jadi gila deh" katanya lemas yang langsung diiringi dengan erangan panjang. Ah, benar-benar kasihan Danny-ku ini. Resiko menjadi orang yang hampir sempurna. Dan itu termasuk mempunyai penggemar yang psycho.
"Dan, gue rasa lo harus lapor polisi deh. Ya kalo dia cuman ngasih pesen-pesen nggak jelas doang. Kalo ternyata dia psikopat yang merangkap sebagai pembunuh berantai? Gimana coba? Emang lo nggak takut ntar terjadi sesuatu yang nggak di inginkan?" tanyaku dengan suara simpati. Aku memang bersimpati atas apa yang terjadi padanya.
"Ntar? Sekarang aja udah kejadian hal yang nggak gue inginin, Kei. Tapi lo tau ndiri kan polisi di Negara kita? Buat nangkepin koruptor yang udah bertaun-taun aja nggak selesai-selesai. Apalagi cuman masalah stalker nggak penting kaya gini. Yang ada gue malah di ketawain ntar ama mereka. Kayanya mereka sih harus ngeliat mayat dulu deh, baru mulai mau ngelakuin sesuatu."
"Huss!! Jangan ngomong mayat-mayat gitu deh! Gila lo! Ya udah, pokoknya sekarang lo mesti lebih ati-ati. Dan kalo boleh gue saranin, mendingan lo ganti deh semua kunci yang ada di rumah lo. Sapa tau dia sempet bikin duplikat atau apa" usulku untuk lebih menenangkannya.
"Iya. Gue udah telpon tukang kunci. Katanya besok dia bakal ke rumah gue buat ngeganti semua kunci. Kei, makash ya udah ngedengerin teriakan-teriakan gue yang kaya orang gila" ujarnya lembut.
"Hey! Don't thank me. That's what friends are for" jawabku.
"Ya udah. Kayanya gue udah ngenggangu makan siang lo deh. Sekali lagi thanks yah. Lanjutin makan siangnya deh. Makan yang banyak, Kei. Biar lo ada tenaga kalo-kalo ntar gue butuh bantuan lo buat ngadepin si psycho itu."

Setelah menutup telpon, aku cepat-cepat menyelesaikan makan siangku yang tadi sempat terhenti karena begitu kaget mendengar cerita Danny. Dan kemudian mulai membuang Styrofoam bekas bungkus mie ayam tadi ke sampah, dan melanjutkan pekerjaanku yang sepertinya sama sekali tidak berkurang.

No comments: