Thursday, February 24, 2005

Ruangan ini terlihat lain. Tidak seperti biasanya. Ternyata seperti inilah kalau semua lampu di matikan. Semua sumber cahaya, sekecil apapun di tutup. Bukan. Bukannya aku ngga pernah mematikan lampu sebelum ini. Toh setiap malam aku harus tidur dalam keadaan gelap. Tapi tidak dengan keadaan seperti ini. Tidak dengan keadaan sesunyi ini. Tidak dalam keadaan sedingin ini.

Duduk di sudut kesukaanku ini tidak lagi memberikan rasa nyaman. Tidak lagi memberikan rasa aman seperti yang biasanya aku rasakan. Aku melongok ke jendela, berharap menemukan pemandangan-pemandangan yang biasanya bisa memberi aku kedamaian. Bisa memberi aku tawa2 kecil. Dan aku bisa melihat ibu tua yang tinggal di lantai atas yang bahkan sampai sekarangpun aku ngga tau namanya sedang membuang sampah seperti biasa seperti yang selalu dia lakukan di jam2 seperti ini. Aku melempar pandanganku ke arah jam duduk di atas meja di sebelah sofa hijau toscaku. Ah terlalu gelap. Tak terlihat. Tapi bisa dipastikan sekarang sudah lewat dari jam 7 malam. Karena jam segitulah biasanya ibu2 tua itu membuang sampah. Setelah makan malam. Kembali aku mengarahkan pandanganku ke jalanan yang tepat di bawah jendelaku. Sebentar lagi pasti mbak2 yang tinggal di seberang jalan akan segera melewati jalan pulang dari tempat kerjanya. Dan anak kecil yang di sebelah pasti akan keluar bersama 2 anjing pomnya.

Ahh... benar saja. Aku mulai bisa melihat 2 anjing yang berbulu lebat dan berkaki pendek itu. Anjing2 kecil yang biasanya bisa membuat aku tersenyum kecil, bahkan sampa tertawa terbahak2 itupun bahkan sekarang tidak bisa membuat ujung bibirku naik sedikitpun. Ah... malam ini begitu dingin, begitu sunyi, begitu menakutkan. Tapi mungkin setelah semuanya selesai, aku akan mendapatkan kelegaan.

Kembali aku melemparkan pandanganku ke ruangan yang dingin ini. Sofa hijau tosca ku terlihat lebih hijau, lebih gelap, bahkan mungkin cenderung ke hitam. Aku menyapukan pandanganku ke ujung sebelah kiri dimana di situ berdiri kitchen set kuningku yang kecil. Yang selama ini selalu setia menemani pagi2ku dengan telur ceplok, Roti bakar, bahkan walau hanya semangkuk mie instan pedas dengan potongan2 cabe rawit merah. Mungkin aku akan merindukan sudut dimana aku selalu belepotan tepung mencoba membuat kue yang selama ini ngga pernah berhasil aku buat. Ya! Kecuali malam itu. Malam ketika aku mengundang kamu untuk makan malam. Di sini. Dan akupun melemparkan pandanganku ke arah sofa hijau yang selama ini selalu menyambutku dengan bantalan2nya yang empuk dan nyaman. Yang selalu menemaniku di malam2 ketika aku yang kelelahan tertidur sambil menonton tv. Juga menemaniku mencoret2 agendaku, meneriksa semua janji2 pertemuan. Termasuk pertemuan pertemuan denganmu. Setiap kali keesokan harinya ada janji bertemu kamu ntah untuk wawancara, atau sekedar makan siang, aku selalu menatap agendaku berlama2, membayangkan apa yang akan aku bicarakan denganmu. Bahkan aku akan mulai merencanakan baju apa yang akan aku pakai besok. Dan pandanganku tertumbuk pada drawer kecil di sudut lain kamarku yang bersebelahan dengan kasur kecilku yang biasanya selalu memberiku rasa nyaman. Terlebih lagi untuk beberapa bulan belakangan ini, setiap aku membaringkan tubuh lelahku di sana, aku akan merasa sangat nyaman. Mungkin karena di spot itulah aku selalu membayangkan wajahmu. Tatapan dinginmu yang misterius, poni kecilmu yang sedikit terjuntai dan kadang mengganggu pandanganmu. Tempat dimana aku selalu merengkuhmu di dalam mimpi. Mimpi2 yang bisa membuat aku tersenyum ketika bangun di pagi hari ataupun mimpi2 yang bisa membuat aku berkeringat. See? Bahkan mimpipun semakin indah karena ada kamu di dalamnya. Mimpi yang selalu jadi inspirasi buat aku untuk menulis, menulis dan menulis lagi. Terlihatlah seperangkat komputer di atas meja di sebelah kasurku. Tempat dimana semua mimpi menjadi kata2. Komputerku yang selama ini membantuku menjalani hidup. Bahkan membantuku untuk selalu dan terus bertemu denganmu. Kalau komputerku bisa berteriak, mungkin dia akan berteriak protes karena tenaganya selalu kukuras untuk menulis artikel2ku, script2ku, atau bahkan hanya pemikiran2 pribadiku. Yah kalau memang komputer bisa berteriak, mungkin itu akan lebih baik. Setidaknya suaranya bisa mengisi kesunyian yang semakin lama semakin menakutkan ini.

Dan kembali aku melihat diriku sendiri. Duduk di sudut kesukaanku. Berpakaian seperti putri raja. Putri rajakah? Atau pelacur murahan? Aku mengeluskan tanganku ke pahaku yang berbalut rok satin berwarna hitam. Dan tanganku mulai merayap naik, merasakan halusnya bahan dari gaun malamku yang khusus kubeli untuk malam ini. Mungkin warna hitamlah yang paling cocok untuk situasi seperti ini. Atau seharusnya aku memakai warna merah? Karena mungkin setelah malam ini aku akan merasakan kelegaan yang luar biasa. Tapi mengapa aku masih merasa takut?

Jam berapa sekarang? Semakin malam. Semua rasa sesak, semua rasa takut, semua rasa ngeri, semua perih itu makin menggunung. Tapi toh ini harus diselesaikan juga. Jadi apalagi yang aku tunggu?

Kembali mataku menyapu seluruh ruangan apartement studio yang sudah aku tinggali selama 2 tahun ini. "Mata, mata, lihatlah... lihatlah untuk yang terakhir kalinya..."

Telinga, telinga, dengarlah untuk terakhir kalinya...,

Tangan, tangan, rabalah untuk terakhir kalinya....

Otak, otak, ingatlah untuk terakhir kalinya...

Hati, hati, rasakan untuk terakhir kalinya. Nikmati perih itu. Untuk terakhir kalinya

Aku memejamkan mata. Merasakan semua rasa sakit, putus asa, takut, bergairah, cinta...

Mulut, mulut, berbicaralah untuk terakhir kalinya...
"Cuma kamu... Cuma kamu yang bisa..."

Dan entah kekuatan darimana membuatku mampu mengangkat tanganku yang dari tadi hanya kugunakan untuk mengelus2 benda di tanganku. Menggenggamnya erat. Terlalu erat sampai getarannya tak tertahankan. Dan kutorehkan sisi tajamnya di pergelangan tanganku. Tepat di tempat terletaknya urat nadiku. Dan aku bisa merasakan cairan hangat itu keluar.

Memejamkan mata membuat aku dapat merasakan semuanya dengan lebih lagi. Semua yang ada di tubuhku, semua yang ada di hati. Rasa sakit itu semakin menyeruak, semakin perih, membuat tubuhku menggigil. Dingin, sangat dingin. Aku merasa seperti melayang layang. Selintas seluruh hidupku berkelebat di depan mataku yang masih tertutub, sampai kemudian mulai memudar. Gelap. Aku membuka mataku, dan hanya gelap yang kulihat. Semakin gelap, semakin gelap dan kabur. Takut. Tolong... nyalakan lampunya! Ingin aku berteriak, tapi hanya erangan tertahan yang keluar dari mulutku. Tapi pandangankupun malah semakin gelap. Dan aku mulai kehilangan diriku, kehilangan kesadaranku.

Gelap... dingin... takut... gelap... gelap...

Dan tenggelam...


I bleed,
And I breathe,
I breathe,
I breathe-
I breathe no more.

No comments: