Wednesday, June 29, 2005

Namaku Patricia. Tapi orang-orang biasa memanggilku Patty. Seluruh hidupku berjalan dengan lancar. Aku bisa makan dengan kenyang, tidur dengan nyenyak, punya banyak teman. Semuanya sempurna. Aku bahkan memiliki seorang sahabat yang sangat kusayangi, dan sebaliknya, dia pun sangat sayang padaku. Aku memanggilnya Ivy. Kami hampir tak bisa dipisahkan. Selalu bersama-sama. Bahkan selama hampir 4 tahun, kami hidup bersama. Kami tidur bersama, makan bersama, bermain bersama, bahkan kadang-kadang kamipun mandi bersama. Hahaha... masa2 bahagia. Aku menikmati jari2nya yang lembut ketika membelai kepalaku dan seluruh tubuhku. Dan akupun tau kalau dia sangat menikmati jilatan lidahku di wajahnya, di tangannya, di kakinya. Ya... kupikir kami memang lebih dari sekedar sahabat.

Tapi sekarang kami sudah berpisah. Tak pernah bertemu, tak ada kabar. Aku tak tahu dia sekarang berada di mana. Apakah hidupnya bahagia? Ataukah menderita? Yang lebih mengkhawatirkan lagi, apakah dia masih hidup? Ataukah.... ahhh...
Aku merindukannya. Apakah dia juga merindukanku? Mengingatku? Memikirkanku?

Lucu rasanya menangis sambil mengingat tentang dirinya. Mengingat waktu kami menangis bersama. Tertawa bersama, Berlari bersama. Aku ingat suatu malam, dia masuk ke kamar sambil menangis. Aku tak tahu apa yang membuatnya menangis. Aku hanya melihat dia menangis begitu sedihnya sambil duduk di atas ranjang. Aku tak bisa berkata apa2. Karena toh kalau aku bicara, dia tak akan mengerti apa yang aku bicarakan. Aku duduk di hadapannya, meletakkan tanganku di atas tangannya. Semakin lama aku melihat air matanya yang menetes, semakin sedih aku dibuatnya. Aku menciumnya. Aku menciuminya tanpa berhenti. Terus... dan terus. Berusaha mengeringkan air matanya dengan mulutku. Dengan lidahku. Mencoba mengatakan padanya, bahwa masih ada aku yang sangat menyayanginya, Sangat mencintainya. Dan diapun mengerti. Dia membelai kepalaku, lalu menarikku ke dalam pelukkanya. Malam itu kami tidur berpelukkan. Seperti malam2 sebelumnya.

Kadang2 memang susah hidup bersamanya. Kadang2 dia bisa menjadi sangat pemarah. Kalau aku membuat kesalahan, dia tak akan ragu2 untuk memukulku. Tapi aku tak keberatan. Karena dari situlah aku bisa belajar akan kesalahanku. Lagipula, setiap habis memukulku, dia akan langsung memeluk dan menciumiku. Mengatakan betapa cintanya dia padaku. Dan aku... aku berusaha untuk tidak melakukan kesalahan yang sama.

Aahh... rasanya aku ingin memberikan apa saja agar bisa merasakan kehangatan pelukannya lagi. Merasakan lembut lehernya bersentuhan dengan leherku. Tidur berbantalkan lengannya. Belaiannya di kepalaku. Ciumannya. Aahh... aku sungguh ingin mengulang masa2 itu.

Di mana dia sekarang?

Kenapa kami berpisah? Akan aku ceritakan kenapa kami berpisah. Waktu itu, dia mulai semakin sering menangis. Semakin sering berteriak2. Semakin sering marah2 dan betengkar. Bukan denganku. Karena kami tidak pernah bertengkar. Dengan orang lain yang juga tinggal bersama kami. Aku tahu dia sudah tidak tahan tinggal di rumah itu. Tapi dia bertahan demi aku. Karena kalau dia keluar dari rumah itu, dia tau dia tak akan bisa membawaku. Dia bertahan dan terus bertahan. Sampai suatu saat, pertahanannya jebol. Dia benar2 tak kuat lagi. Suatu malam, tiba2 ada temannya datang membawa mobil yang sangat besar. Dan saat itulah mereka mulai mengangkati semua barang2nya ke dalam mobil. Dia bahkan sama sekali tidak memperdulikanku. setelah itu, dia pergi.

Kadang2 dia masih datang untuk menjengukku. Aku tahu dia masih sayang padaku. Sama seperti aku sayang padanya. Aku selalu menanti2kan kedatangannya. Dan dia terus datang. Itu saja sudah membuatku senang. Walaupun semuanya sudah tidak sama seperti dulu lagi, ketika kami masih tinggal bersama. Kami masih sering berlari bersama. Tertawa bersama. Menangis bersama. Sampai suatu saat, dia pergi. Pergi dan tak pernah kembali lagi.

Ahh... mungkin dia kembali. Tapi dia tak sempat bertemu denganku. Karena aku sudah pindah. Pindah tanpa sempat berpamitan padanya. Tanpa sempat memberikan ciuman perpisahan. Dan sampai sekarang, aku masih menyesali kepergianku yang tanpa pamit ini.

Sekarang, yang kulakukan hanya duduk. Duduk di depan pintu, berharap suatu saat dia akan datang melewati pintu itu dengan senyumnya yang biasa dia berikan padaku. Dengan binar matanya menatapku, sama seperti waktu dulu. Tapi aku sadar, itu semua sudah berlalu. Dia tidak akan datang. Tapi aku tak akan berhenti menunggu. Menunggu dan terus menunggu. Dan bila suatu saat dia benar2 datang, aku akan langsung menyambutnya dengan goyangan ekorku yang panjang, dengan seringai wajahku yang menurutnya lucu, dengan salakan gembiraku yang dulu selalu menyambutnya. Ya! Aku akan menunggunya terus, sama seperti dulu aku menunggunya pulang kuliah.

Woof... woof....

No comments: